Tags

glasscherben

Title                            : Glasscherben

Author                      : @dcnirwana ( www.blameonblack.wordpress.com )

Genre                         : romance

Rate                            : General

Lenght                       : Oneshot with 5,470 words

Cast                            :

  • Park Nichan
  • Cho Kyuhyun
  • Choi Siwon

Disclaimer                  : I OWN THE PLOT

Note                            : This fiction is the sequel of GLASKASTEN

 GLASSCHERBEN

Park Nichan duduk di sebuah sudut kedai kopi bernama Prundence yang bernuansa minimalis dan tampak mulai sepi di malam selarut ini. Gadis itu menyesap raspberry macchiato miliknya lalu kembali membolak-balik kumpulan artikel tentang pertunjukan musikal yang sedari tadi berada dalam genggaman tangan, mencoba mencari inspirasi untuk artikel baru yang harus ia buat kali ini untuk kolomnya.

 “Aisshh… ada apa ini?” Nichan melempar majalah mode itu ke atas meja dan mengacak-acak rambutnya sendiri dengan frustasi. Nichan menghempaskan tubuhnya ke punggung kursi. Menjengkelkan. Otaknya terasa penat belakangan ini dan setumpuk tugas yang sengaja ia borong dari Nylon malah belum ada satupun yang tuntas terselesaikan. Gadis itu mendesah pelan, mencoba menjadi workaholic untuk mengalihkan perasaan aneh yang meluap rasanya memang bukan pilihan yang tepat.

Sepasang matanya beralih pada kamera digital berwarna hitam yang tergeletak di atas meja. Nikon D90 milik Rakel. Kamera yang dulunya nyaris selalu dibawa pria itu kemana pun. Nichan tersenyum kecil, biasanya dengan kamera itu Rakel akan memotret apapun dengan indahnya. Potret yang diambilnya selalu berhasil membuat Nichan terkesima. Tapi kini Rakel sudah tidak bisa lagi memberikan Nichan potret-potret yang indah.

Semenjak kepergian Rakel, Nichan adalah satu-satunya orang yang menggunakan kamera itu. Meski hasilnya terbilang biasa namun dia menikmati saat-saat ia menekan tombol shutter pada sebuah objek. Tidak banyak, karena gadis itu hanya suka memotret member KRY diam-diam saat mereka sedang lengah. Mungkin hanya sekedar potretan kecil tanpa kemampuan khusus tapi ia tetap suka melakukannya. Memotret Kim Jongwoon atau yang lebih dikenal dengan nama Yesung, lalu Kim Ryeowook dan juga…

Cho Kyuhyun.

Kenapa mengingat nama itu membuatnya pikirannya semakin penat? Nichan meraih kamera digitalnya untuk melihat beberapa potret yang terakhir diambilnya saat grup itu sedang berlatih untuk musikal. Yesung yang sedang bersungut karena lupa dialog. Ryeowook yang menunjukan sesuatu dalam ponselnya kepada gadis bernama Yoo Mirae. Ryeowook dan Yesung yang sedang serius memerhatikan arahan sutradara. Lalu tangannya berhenti menekan tombol slide saat potret Kyuhyun yang sedang iseng bermain replika pesawat terbang tertangkap oleh lensa kameranya pekan lalu.

 “Bodoh! Kau seharusnya tidak perlu menungguku.” gumamnya kecil. “Sekarang, aku menjadi merasa terbebani oleh sesuatu yang tidak jelas itu.”

Nichan menghela nafasnya lalu meletakan kamera itu kembali. Otaknya sudah mulai kacau rupanya.

“Jadi kau sudah benar-benar gila sekarang? Berbicara pada kamera?” ujar seorang pria berbadan tinggi tegap, berwajah tampan dengan kacamata yang membingkai matanya. Kemudian tanpa aba-aba, pria dengan setelan jas dari perancang busana ternama itu sudah duduk di hadapan Nichan dan langsung menyeruput kopi hitam panasnya.

“Choi Siwon?”

Pria itu tersenyum dan merentangkan tangannya. “Yap. I’m home.”

So, how’s London? Selamat untuk penghargaanmu di Festival Show Scoite Move.” Nichan menyelamatinya atas penghargaan yang ia dapatkan tiga bulan lalu karena hasil-hasil bidikan kameranya.

Siwon berdecak sambil melepas kancing jas yang ia kenakan. “London terlalu membosankan untukku, Chan-ah. Lagipula aku tidak terlalu tertarik dengan penghargaan itu. Aku ini menjadi fotografer untuk menyalurkan hobiku dan aku tidak punya obsesi lebih untuk penghargaan konyol seperti itu.”

“Kau sombong sekali, Tuan Choi.” Nichan memicingkan matanya. “Kenapa kau bisa selalu memotret para model itu dengan hasil yang selalu menonjolkan sisi yang paling menarik dari para model itu?”

I just know how.” Sahutnya enteng.

Nichan hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Siwon yang seperti ini. Pria dihadapannya ini akan terlihat sombong dan sangat arogan bagi mereka yang belum mengenalnya. Tapi Nichan sudah mengenalnya dengan sangat baik sejak beberapa tahun lalu saat mereka tinggal Swiss.

“Boleh aku bertanya?”

Siwon menaikan alisnya sebagai jawaban. Sementaranya matanya masih saja asik dengan ponselnya.

“Apa kau akan tetap bertingkah seperti ini meski ayahmu bukan pemilik majalah Nylon?”

“Mungkin.” Lalu tiba-tiba saja tawa pria itu pecah.

“Kau gila, ya?”

Siwon membulatkan matanya. “Aku tidak gila! Kau yang gila! Mana ada orang normal berbicara pada kamera?”

Nichan memutar matanya. “Aku mengakui kalau aku gila. Karena orang gila tidak akan pernah mengakui dirinya gila.”

“YA! Maksudmu aku gila?” Sahutnya tidak terima. “Lagi pula apa yang kau pikirkan? Kau terlihat mengerikan.”

“Pekerjaan di kantor.” Jawabnya singkat. Ia tidak mungkin mengungkapkan alasan yang sebenarnya –kalau ia memikirkan Cho Kyuhyun. Nichan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Baru saja dia berhasil mengalihkan pikirannya dari Kyuhyun namun kini kepalanya kembali berdenyut saat memikirkan pria itu lagi.

“Apakah itu kamera Rakel?” Tanya Siwon saat mengenali kamera yang terletak diatas meja. Lagi, tanpa aba-aba dia langsung mengambil kamera itu dan membuka galeri di dalamya.

Alih-alih menemukan foto Rakel ataupun Nichan, foto-foto yang terpampang dari dalam galeri itu membuat Siwon membeku dalam hitungan detik ketika melihatnya. Matanya membulat kaget, setengah tak percaya. Tenggorokannya bahkan terasa kering untuk sekedar berdecak atau mengekspresikan keterkejutannya saat ini. Membingungkan.

KRY? Kenapa foto-foto member KRY? Trio pemain drama musikal yang tengah naik daun. Ia tidak mengerti kenapa Nichan punya banyak foto-foto member KRY yang ia yakin sekali tidak pernah terpublikasi secara luas. Darimana gadis itu mendapatkannya? Memotret sendiri? Dan entah bagaimana, beberapa dari foto itu terlihat mencolok dalam penglihatannya sebagai fotografer profesional yang pernah berdomisili di Swiss dan London selama beberapa tahun. Siwon mendongakkan kepalanya perlahan. Matanya menangkap sosok Nichan yang terlihat… kalut?

“Chan-ah.” Panggilnya pelan.

Nichan bergumam pelan untuk menanggapi. Saat Siwon menunjukan layar kamera itu, Nichan langsung menyahutnya cepat. “Aku bisa menjelaskannya!”

Dengan pandangan yang sulit diartikan, Siwon terus memandangi Nichan dan foto-foto itu secara bergantian. “KRY? Dalam kamera Rakel?”

“Ini tidak seperti yang kau bayangkan!” Nichan menggeleng-geleng kuat. “Aku bisa menjelaskannya.”

 “Jelaskan padaku!” Siwon meletakan kameranya diatas meja, menegakan badannya lalu melipat tangannya di depan dada. Menuntut penjelasan.

“Tema majalah bulan ini adalah pertunjukan musikal. Jadi aku meliput mereka.” Tuturnya. Kemudian Nichan mulai menjelaskan lebih rinci. Kenapa dia memilih KRY dan bagimana Nichan mulai mengenal mereka hingga mereka bisa sangat dekat seperti sekarang ini. Meski semua hal sudah dijelaskan tapi entah kenapa atmosfer diantara keduanya masih terasa canggung. Nichan hanya terdiam di tempat sambil menyesap secangkir raspberry macchiato miliknya yang mulai dingin dan terasa masam. Aneh. Ia menyukai segala macam jenis kopi sebenarnya tapi entah kenapa tidak untuk kali ini. Gadis itu melepas kacamata dan menggelung rambutnya, berharap gerakan-gerakan kecil itu bisa mengurangi desiran aneh yang menjalar dalam tubuhnya. Tapi nihil. Bahkan terasa semakin gamang. Pertanyaan tiba-tiba dari Choi Siwon lima belas menit yang lalu itu seolah mengobrak-abrik pertahanannya lagi.

“Jadi kau memang dekat dengan KRY?” pertanyaan Siwon memecah hening diantara keduanya.

Nichan mengangguk kecil.

Siwon menatapnya tajam. “Apa aku melanggar privasimu?”

Nichan menggeleng. “Tidak.”

 “Lalu, kenapa kau diam sejak aku bertanya tentang Kyuhyun?”

Nichan menghela nafas. “Pertanyaanmu mengejutkanku.”

Siwon mengernyit saat gadis itu mengaku terkejut, “Kenapa?”

Nichan menggeleng pelan. Sesuatu yang sejak tadi mengganjal di tenggorokanya, pelan-pelan mulai terlontar. “Bagaimana bisa kau berpikiran bahwa aku errr… menyukai Cho Kyuhyun?”

Siwon tersenyum kecil. Ia kembali meraih kamera itu dan menunjukan salah satu foto yang cukup menarik perhatiannya. Foto Kyuhyun yang tengah bermain mainan pesawat terbang dengan begitu polos sambil tertawa kecil. Sebuah foto sederhana yang seolah bisa membuat siapa pun yang melihatnya ikut tersenyum merasakan tawa kebebasan itu.

Choi Siwon mendorong foto itu kearah Nichan. “Chan-ah, aku tahu kemampuanmu dalam memotret. Seorang fotografer amatir sepertimu tidak mungkin bisa memotret gambar sehidup ini kecuali dengan alasan tertentu.”

 “Tapi kenapa Kyuhyun?” Nichan bertanya bingung. “Maksudku, aku tidak hanya memotretnya. Ada foto-foto Yesung dan Ryeowook. Kenapa kau me-”

 “Kau percaya pada mataku?” potong Siwon.

Nichan mengangguk kecil.

 “Dari sekian banyak foto itu, hanya foto Cho Kyuhyun yang selalu berhasil kau potret sempurna, Chan-ah. Hanya foto-foto Cho Kyuhyun yang benar-benar terlihat menggambarkan keindahan apa adanya.” Siwon menatap sepasang mata Nichan dengan pandangan hangat yang bersahabat. “Keindahan seperti itu hanya bisa kau simpan jika melihatnya dengan tulus dan mencintainya dengan sederhana.”

Nichan terhenyak kaku.

Mencintai… Cho Kyuhyun?

Yang benar saja! Bagaimana mungkin sebuah foto bisa dengan mudah mendefinisikan perasaan seseorang? Ini tidak mungkin! Layar yang hanya menampilkan potret biasa itu tidak mungkin menggambarkan apa pun! Tidak mungkin! Bukankah keyakinan tentang cintanya pada Rakel jauh lebih bisa dipercaya daripada sebuah foto?

Dia mungkin memang menyayangi Cho Kyuhyun, tapi itu bukan cinta!

 “Bukan cinta.” racau Nichan,

 “Apa ini sebuah pengelakan?” Seolah tidak mau mengalah, Siwon semakin menyudutkannya.

Nichan terdiam. Ini adalah situasi yang menyebalkan. Saat dia menjawab ‘tidak’ maka Siwon akan semakin menyudutkannya dan memaksa mulutnya untuk membeberkan semuanya. Perlu dicatat, kemapuan introgasi Siwon cukup mematikan. Lalu di sisi sebaliknya, bila dia menjawab ‘iya’ bukankah dia akan terlihat menyedihkan?

Siwon menyerahkan kamera itu lagi pada gadis di hadapannya. “Kamera adalah duplikat dari dirimu. Lensanya adalah matamu dan tombol shutter adalah hatimu. Lihat lalu tekan tombolnya. Biarkan keindahan itu tetap terlihat asli tanpa memikirkan noise, ISO, props atau apa pun. Simpan keindahan itu dengan apa adanya. Itulah arti dari mencintai sebuah objek. When you photograph something you love, you capture their soul and turn it out into eternal beauty. Tanpa sadar, kau sudah melakukannya saat memotret Cho Kyuhyun.”

Nichan semakin terdiam.

Ada hentakan aneh yang tiba-tiba dirasakannya saat mendengar deretan kalimat yang diucapkan Siwon dengan penuh kesungguhan itu. Ia bisa merasakan ampas-ampas pahit dalam rongga dadanya itu kembali berterbangan, menyesakkan. Ia juga bisa meraba dinding-dinding pada kotak kaca hatinya yang mulai mengeras dan memuai pada saat bersamaan. Kenapa perasaannya menjadi kacau seperti ini?

Sementara Choi Siwon meraih mantelnya yang tersampir di punggung kursi, kemudian beranjak sambil meletakan beberapa lembar uang ke atas meja. Ia berjalan kearah Nichan dan mengacak-acak rambut gadis itu sebelum kemudian berlalu.

“Chan-ah.” Siwon menoleh sebentar kearah Nichan. “Pada kasus-kasus tertentu, ada orang-orang yang hanya bisa memotret dengan sempurna jika objeknya adalah seseorang yang mereka cintai.  Those kinds of feelings don’t show with just anyone. It has to be with the right person.”

“Rakel?”

Bukan Siwon, melainkan Nichan sendiri yang terhenyak kaget saat mendengar nama itu tiba-tiba saja terlontar dari mulutnya sendiri, tanpa berkompromi dengan sel syaraf otaknya.

Siwon tersenyum. Satu nama yang menjadi alasan penyangkalan terbesar dalam diri Nichan saat ini. Meski Rakel adalah sahabat yang ia sudah anggap adiknya sendiri, Nichan juga sahabatnya. Dia tidak mungkin membiarkan gadis itu lebih terlarut meratapi kepergian Rakel.

“Dia sudah meninggal, Chan-ah. Tiga tahun sudah cukup untuk membuktikan kesetianmu pada Rakel. Kau punya hak untuk melanjutkan hidupmu dan mencari kebahagianmu sendiri dengan pria lain. Rakel pasti ingin kau bahagia. Rakel pasti mengerti.”

Rakel pasti mengerti. Rakel tidak mengeri. Rakel pasti tidak mau mengerti. Bagaimana dia bisa mengerti?

Nichan mengerang frustasi di kamarnya. Dia memandangi foto-foto yang langsung dicetaknya dengan perasaan yang ia sendiri tak paham apa itu. Ia ingin sekali tidak percaya dengan apa yang dikatakan Siwon kemarin. Tapi ia juga tidak bisa meragukan pada mata jeli seorang fotografer handal yang bahkan sudah menerima penghargaan di London.

Gadis itu meraih selembar foto berisi potret Kyuhyun yang tengah bermain mainan pesawat terbang di samping Mirae, seorang gadis yang menjadi koreografer dalam musikal terbarunya.

Nichan tersenyum, “Mungkin Siwon benar, setiap orang yang melihat foto ini akan ikut tersenyum karena kau. Hanya tentang itu. Tentang perasaanku… Itu tidak mungkin benar.”

Ia meletakan foto itu lagi. Membiarkannya berserakan bersama foto-foto lain di atas kasur. Nichan menarik nafas panjang dan merebahkan tubuhnya, memejamkan mata. Ia tidak mengantuk. Sama sekali tidak meski jam sudah menunjukan jam tengah malah. Dia hanya ingin mencari sebuah gelap saja dengan kedua mata yang tertutup. Menyaru bersama baying-bayang gelap yang mungkin bisa menahan gejolak aneh yang menghentak perutnya sejak kemarin malam.

 Sampai kapan pun, aku akan tetap menunggu.

Wajah tegas Kyuhyun yang lembut kala itu kembali terbayang dalam ingatannya. Kalimat singkat yang terdengar penuh harap namun tak egois. Tatap penuh kesungguhan yang menenangkan itu. Sepasang lengan yang mencoba melindungi tanpa memaksa. Suhu hangat tubuhnya yang membuat aliran darah seolah berdesir lembut. Semua ingatan itu, terlihat begitu lambat.

I lost my mind, noreul cheummannasseultte.

No hanappego modeun goseun get in slow motion.

Nege marhejwo ige sarangiramyon.

Lalu pelan-pelan, semua kenangan singkat hari itu kembali terputar dalam otaknya. Bagaimana ia tersenyum menemukan sosok Kyuhyun yang tertidur pulas di kamarnya. Bagaimana ia dan Kyuhyun berdebat tentang Cola dan Latte. Bagaimana jarinya tertusuk pecahan cangkir panas dan kemudian menangis. Bagaimana Kyuhyun memeluknya dengan erat saat itu. Bagaimana Kyuhyun mengusap air matanya. Bagaimana Kyuhyun bisa menebak tentang kotak kaca itu. Bagaimana pria itu bisa selalu mengerti dia lebih dari dirinya sendiri. Menyebalkan. Sangat menyebalkan hingga ia semakin sulit menekan perasaan aneh yag meluap itu.

Meil geudewa, sumaneun gamjongdeureuk lanwojugo bewogamyo.

Ssaugo ulgo anajugo.

Nege marhejwo ige sarangiramyon.

Apa yang ia dan pria itu lakukan selama ini, saling berbagi dan belajar, menangis dan tertawa dalam sebuah pelukan. Apakah ini cinta? Apakah ini…. Tunggu!!

Nichan langsung membuka kelopak matanya.

Radio di sudut mejanya itu melantuntankan lagu ‘What is love’ milik Exo dengan volume kecil. Membuat lirik-lirik lagu itu semakin mendesak kedalam otaknya dan mengaduk-aduk suansana hatinya.

Sesangpriadeul modu nalburowohe.

Noreul gajin nega jiltuna jukgennabwa.

Hega gado-

“AAA!! Aku bisa gila!” Nichan berteriak frustasi setelah memutus nyanyian Baekhyun karena menekan tombol power di radio itu.

Kepalanya mendadak kembali berdenyut. Ya. Benar. Dia bisa benar-benar gila kalau terus menerus memikirkan hal ini. Lalu dia merebahkan tubuhnya diatas kasur. Dipijatnya kening kepalanya yang sangat menyiksanya. Dan pening yang ia rasakan perlahan membawanya kealam mimpi. Mimpi yang melemparkannya kembali pada sebuah masa lalu. Tentangnya. Tentang Rakel. Tentang suatu potret.

-=.=-

 “Kau menyukai semua keindahan Swiss, kan?” tegur Rakel.

Nichan mengangguk, “Tapi aku lebih menyukai berada di samping Rakel Steiner melebihi apa pun.”

Rakel tersenyum lalu mengusap puncak kepala gadis itu.

 “Mungkin itu yang membuatku tidak bisa memotret dengan baik.” tambah Nichan, ia menoleh pada sosok Rakel yang masih berjengit bingung, “Seindah apa pun sebuah objek yang kulihat, aku tidak akan bisa memotretnya dengan baik kecuali objek itu adalah kau.”

Rakel mengambil alih kamernya dan merubah mode fokusnya menjadi auto. “Gunakan perasaanmu saat memotret. Kau harus mencintai objeknya, Shana.” ia menyentil dahi Nichan, kemudian mundur beberapa langkah dari gadis itu, “Sekarang, coba potret aku!”

KLIK

 “Bagaimana?” Nichan menatap khawair pada Rakel yang saat ini tengah mengamati hasil potretannya.

 “Kenapa bisa sebagus ini?”

Tanggapan Rakel membuat Nichan tersenyum bangga, “Karena objeknya kau dan karena aku memang mencintaimu.”

Rakel mengacak-acak rambut Nichan dengan gemas. “Sebegitu besarkah rasa cintamu?”

Nichan terkekeh lalu merapikan poninya. Sementara Rakel mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

“Keretaku sudah akan berangkat. Jadi aku ingin kau menyimpan ini untukku.”

Nichan menyandarkan punggungnya pada pilar peron stasiun kereta sambil menatap benda di tangannya dengan bingung, “Kotak kaca?”

“Kotak kaca itu adalah diriku dan hatimu ada di dalam sana, Shana.” Rakel tersenyum, “Hatimu harus selalu disana, terkunci disana untukku, mengerti?”

Nichan mengangguk cepat, “Tentu saja, hati Raishana Park hanya untuk Rakel Steiner dan itu tidak akan berubah kan?”

“Benar. Jadi, kau harus selalu menguncinya rapat-rapat agar hatimu tidak dicuri orang lain. Dan jangan pernah keluar dari kotak kaca itu. Jangan pernah keluar dari jangkauanku! Jangan pernah keluar dari perasaanmu tentangku! Janji?”

“Janji!” seru Nichan, setengah memekik. Tatapannya lalu beralih pada benda perak berdesain Danish kuno yang tergantung bersama rantai di ujung kotak kacanya, “Tapi jika harus begitu, kenapa kau juga memberikan kuncinya padaku?”

Sepasang mata Rakel menyipit tersenyum, “Karena mungkin suatu saat aku akan pergi dan tidak bisa berada di sampingmu lagi. Saat itu, mungkin akan ada seseorang yang mengetuk kotak kacamu dari luar. Jika kau merasa yakin, jika kau percaya dia bisa membuatmu bahagia, maka bukalah kotak kaca itu dan keluarlah. Pergi dan temui dia, mengerti?”

 “Aku mengerti.” Ya mungkin dia benar-benar mengerti dengan ucapan Rakel dan mengakui semua ucapan pria itu ada benarnya. Hanya saja, dia merasa enggan untuk membuka hatinya kepada pria lain yang berusaha mengetuknya. Karena dia percaya bahwa Rakel akan terus berada di sisinya. Ya, setidaknya untuk saat itu.

“Pulanglah! Bawa kameraku dan berlatihlah memotret. Setelah aku pulang dari Perancis nanti, kau harus sudah ahli! Mengerti?”

Nichan tersenyum dan mengangguk antusias. “Aku pulang, ya! Jaga dirimu baik-baik di Cannes.”

Rakel mengangguk. Sebelum membiarkan gadis itu pergi, dia mencium dahi gadis itu cukup lama. “Ich liebe dich, Shan.”

“Ich auch, Rakel.”

 “Auf wiedersehen, Raishana.”

Nichan bergegas pergi dan keluar dari stasiun. Untuk setahun kedepan, Rakel akan berada di Cannes untuk meneruskan studinya. Dan Nichan tidak memiliki kekuatan untuk mengantar Rakel hingga pria itu sudah tidak ada dalam jangkauan matanya. Setelah lima belas menit dia duduk di dalam trem, Nichan mulai merasakan ada sesuatu yang salah. Hatinya tidak tenang. Gadis itu menghela nafas, menghempaskan punggungnya pada punggu kursi trem itu.

Apa Rakel baik-baik saja? Ada sesuatu dalam dirinya yang seolah mengatakan bahwa Rakel tidak sedang ‘baik-baik saja’ sekarang.

Lalu suara debuman keras membuat hatinya mencelos. Jantungnya berdebar lebih keras. Perasaan khawatir langsung menyelimuti. Gadis itu semakin tidak bisa berpikir jernih ketika melihat kepulan asap hitam dari arah stasiun.

Pertanyaan dalam hatinya kemudian diinterupsi oleh dengungan suara sirine yang terdengar bersahutan dari kejauhan. Samar-samar dia mendengar beberapa orang menyebut Stasiun Hauptbahnhof. Nichan menjadi panik. Saat trem itu berhenti, Nichan langsung bergegas mencari taksi dan kembali ke stasiun. Dia hanya bisa berdoa semoga Rakelnya baik-baik saja. Dia masih berharap kalau semua akan baik-baik saja.

Jika saja stasiun itu tetap tegak berdiri dan bukannya malah hancur lebur hampir rata dengan tanah. Hancur. Luluh lantak. Berantakan.  Tak jauh dari stasiun runtuh itu, dia melihat dua kereta yang sudah tidak berada dalam jalurnya.

Suara sirine itu masih terus bergaung. Seiring dengan mobil-mobil van putih besar dan mobil-mobil sedan dengan plat khusus yang kemudian berkumpul. Ia bisa melihat orang-orang berseragam yang menyeruak dari semua pintu mobil-mobil tersebut. Seragam putih panjang dari mobil van dan seragam khas kepolisian dari mobil-mobil sedan.

“Permisi, permisi!! Tolong beri jalan!!!” ujar seorang yang tinggi bersersagam polisi. Ia berusaha menghalau orang-orang yang berkerumun untuk membuka jalan bagi dua orang berseragam putih dibelakangnya.

Nichan mengernyit. Rakel, apa kau baik-baik saja?

Nichan melangkah dari tempatnya. Berusaha mendekati kerumunan orang disana untuk mendapatkan jawaban dari semua pertanyaanya.

Stasiun runtuh. Dengan puing-puing yang bertumpuk dan saling menimpa satu sama lain. Polisi-polisi berseragam dan para petugas medis terlihat tengah mengatasi jenazah-jenazah yang tergeletak di sekitar mereka. Jenazah yang sebelumnya telah di evakuasi dari tindihan reruntuhan bangunan.

Nichan menekap mulutnya. Ngeri. Rakel kau dimana?

Ia butuh jawaban pasti. Bukan sekedar spekulasi yang sedari tadi dipikirkannya. Kini ia hanya berharap kalau Rakel akan tiba-tiba muncul dihadapanya. Entah dari mana, dia tidak peduli.

Seorang polisi dan seorang berpakaian biasa tengah mengangkut satu jenazah yang baru saja mereka temukan. Jenazah itu terlihat mengenakan jaket merah tebal bertuliskan “Zürich University” dengan celana jeans biru yang telah robek di kaki kiri. Sosok yang telah terbujur kaku yang tengah ditandu menuju ambulans oleh dua petugas medis. Wajah dan bentuk tubuhnya bisa dengan mudah Nichan kenali. Dengan rahang kaku dan bibir yang tipis. Rambut bergelombang berantakan berwarna cokelat muda kehitaman hingga tangan kurus seakan hanya tulang berbalut kulit. Jantungnya mencelos.

Ini tidak mungkin!

“Rakel!!” Nichan berlari menghampiri tandu. Membuat kedua petugas medis yang membawa jenazah tersebut terpaksa berhenti. Nichan mengguncang tubuh kaku dihadapannya dengan putus asa. Dadanya berdenyut nyeri.

“Rakel!! Aufwachen!!” Nichan terisak. Air matanya mengalir deras membasahi kedua pipinya.

“Maaf, nona. Sebaiknya anda menyingkir dulu!” ujar seorang berseragam polisi sambil mencengkeram lengannya. Ia menarik Nichan dan berusaha membuat gadis itu menjauh dari jenazah.

Nichan memberontak. “Rakell!!”

“Maaf, nona. Permisi, kau menghalangi jalan kami!” ujar salah seorang paramedis. “Nona?”

“RAKELL!!” Nichan semakin histeris. “Rakel!! Wecken!! Auf…”

Dan seolah tak bernyawa, Nichan jatuh terduduk begitu saja ke tanah. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.

Rakel Steiner.

Pria yang selama ini bersamanya. Pria yang selama ini mengisi relung hatinya. Pria yang selama ini selalu bersedia mendengarkannya. Kini… terbujur kaku dihadapannya. Tanpa nyawa dalam raganya.

-=.=-

Perlahan Nichan membuka mata. Pandangannya mengabur oleh air mata yang tergenang di pelupuk mata. Nichan menangis dalam diam. Tak kuasa lagi Nichan menahannya, isaknya memilu. Nichan menekan dadanya dan tak merasakan degupan apapun disana. Berkali-kali memukulnya untuk mengurangi rasa sesak yang menghimpit. Berkali-kali menarik nafas panjang guna membebaskan diri dari rasa sakit yang menggigit. Rasa hampa itu tergantikan oleh sakitnya penyesalan luar biasa.

Nichan tidak mengerti apa yang dipikirkannya saat ia meraih ponsel miliknya dari dalam tas. Ia butuh seseorang untuk diajak bicara, seseorang yang cukup tenang dan tak suka menuntut banyak penjelasan darinya. Ia butuh menelfon seseorang dan…

“Hey…” sapaan lembut itu menyapanya.

“Cho…”

Nichan terbatuk beberapa kali, kesulitan untuk mengumpulkan nafas untuk melanjutkan. Namun, dia tak dapat melanjutkan karena tiba-tiba seluruh tubuhku bergetar, berseteru dengan tangis yang awalnya masih bisa ditahan, lalu berubah menjadi isakan.

I’ll be there.”

Klik. Telepon dimatikan. Tidak ada pertanyaan seperti ‘ada apa’ ataupun ‘kamu baik-baik saja?’ atau pertanyaan interogatif lainnya. Hanya satu kalimat sederhana.  Final dan absolut, tidak terbantahkan. Dia akan segera datang. Kalimat dengan empat kata itu adalah janji sederhana yang diucapkan oleh Cho Kyuhyun tanpa banyak pertimbangan, seolah-olah dia tahu bila saat ini Nichan sangat membutuhkan seseorang di sisinya. Bukan hanya seseorang, tapi dia.

Lalu saat Kyuhyun tiba dan mengetuk pintu kamarnya, tanpa berpikir panjang Nichan langsung menghambur ke dalam pria itu  dan medekapnya erat.

Kyuhyun terkejut. “Are you okay?”

Nichan tidak menjawab. Ia hanya mengeratkan pelukannya dan membuka matanya lebar-lebar. Bertekad bahwa ia tidak akan lagi memejamkannya. Air matanya mengalir deras tanpa isak. Nafas Nichan memburu. Ia hanya bisa mencengkeram baju Kyuhyun dengan kencang. Getaran di tubuhnya masih belum berhenti. Bayangan Rakel yang terbujur kaku di hadapannya membuatnya takut untuk kembali memejamkan mata.

“Tenanglah. Aku disini!” Kyuhyun mecoba menenangkan gadis itu dengan meletakkan lengan kirinya di punggung Nichan, sementara tangan kanannya mendekap kepala gadis itu dan mengelus rambutnya. Ia merasakan bahwa tubuh gadis di dekapannya ini gemetar hebat. “Ssshh, It’s okay now. Aku disini. Jangan khawatir.”

Nichan bergeming. Otaknya masih memutar adegan demi adegan yang tadi terjadi dalam mimpinya. Air mata yang mengalir tanpa henti membuat bahu Kyuhyun basah.

“Ssshh, menangislah,” Kyuhyun masih mengelusnya. “Menangislah jika kau ingin menangis.”

Nichan terisak dan ia semakin mengeratkan pelukannya.

Kyuhyun sama sekali tak mengatakan apapun setelah itu. Dia hanya menepuk-nepuk punggung Nichan tanpa henti dan beberapa kali dia mendengar isakannya tertahan karena tercekat. Setelah beberapa lama, tangisan Nichan mereda menyisahkan isakan-isakan kecil.

 “Kau bermimpi buruk hm?” tanya Kyuhyun sambil masih mengelus kepala Nichan. Selama beberapa saat, Nichan tak menjawab apapun hingga akhirnya dia menganggukkan kepalanya perlahan. Kyuhyun mulai merasa sedikit lega saat gadis ini mulai bisa diajak berkomunikasi dengannya. “Apa mimpi itu sangat menakutkan?”

Nichan menggeleng lemah. “Mengerikan.” Sahutnya dengan lirih dan getaran pelan. Lalu dia merasakan nafasnya sedikit menjadi sesak saat Kyuhyun mendekapnya sangat erat, seperti dia akan melindunginya dan tidak akan membiarkan satu orangpun menyakitinya. “Kau bermimpi apa?”

Nichan hanya diam tidak menyahut. Dia hanya menyandarkan kepalanya diatas dada bidang milik Kyuhyun dan mencari rasa nyaman dan aman setiap kali ia memeluk pria itu.

“Kau tidak mau bercerita? Baiklah…” Kyuhyun mengelus punggung Nichan. “Lebih baik kau tidur. Aku akan menemanimu disini.”

Nichan mengangguk lalu perlahan melepas diri dari Kyuhyun. Dia berjalan ke tepi ranjang dan mendudukan dirinya disana. Sementara Kyuhyun duduk di sofa kecil yang ada disudut kamar. Dengan bersandar, dia mengamati Nichan yang tertunduk. Gadis itu masih meras gelisah.

“Cho.” Nichan memanggilnya lemah. Dan dia menggumam untuk membalasnya. “Boleh aku tidur?”

Kyuhyun tersenyum lalu mengangguk, “Tentu saja, Chan.”

“Dengan memeluk lenganmu?”

Memeluk lenganku. Jadi kau suka itu, Ms. Latte?

Kyuhyun tentu saja akan dengan suka rela meminjamkan lengannya. Senyum dan harapannya akan segera mengembang kalau saja gadis itu tidak menyahut cepat dengan menyebut nama pria itu.

“Rakel selalu melakukannya untuk menenangkanku setelah menangis.” Nichan tersenyum kecil sambil mengusap air matanya yang menetes lagi. Bohong? Tidak juga. Rakel memang suka melakukannya, menawarkan lengannya untuk ia peluk selama gadis itu tertidur. Tapi kali ini, dia benar-benar ingin Kyuhyun yang melakukannya untuknya. Bukan sebagai bayang-bayang pengganti Rakel. Tapi sebagai Cho Kyuhyun.

“Baiklah. Tapi apa kau tidak berpikir kalau aku sudah mengambil alih tugas Rakel?”

Pertanyaan Kyuhyun itu mulai membuat Nichan tersadar. Mengambil tugas Rakel? Mungkin benar. Kyuhyun mulai mengambil alih tugas Rakel.  Seperti sekarang. Saat Mr. Cola itu menemaninya menangis. Namun seperti biasa, Nichan masih berusaha menyangkalnya membuat kepala gadis itu menggeleng. Mensugesti hatinya agar menuruti otaknya yang menyangkal perasaanya. “Tugas Rakel itu berat, Cho. Kau tidak akan sanggup.”

Kyuhyun tercenung. Gadis itu masih menyangkal dan memertahankan Rakel. Entah mengapa dia merasa kotak kaca yang mengurung Nichan semakin tebal dan menguat. Tapi di sisi lain dia juga merasakan pertahan gadis itu mulai rapuh. Dia tidak mungkin salah dan perasaan itu semakin menguat saat dia melihat mata Nichan. Mata yang selalu terlihat sendu itu kini semakin terlihat kelam. Nichan terlihat sangat rapuh. Benar-benar rapuh. Membuat Kyuhyun semakin ingin untuk memerangkap gadis itu dalam pelukannya. Melindunginya.

Saat Kyuhyun mulai melihat sesuatu yang luluh dalam mata itu, Kyuhyun mulai melakukan sentuhan lama mereka. Ia menempelkan dahinya ke dahinya Nichan dan mengunci dalam-dalam mata gadis itu kedalam tatapannya. Membiarkan suhu hangat tubuh mereka bersatu dalam satu titik. Membiarkan rasa nyaman itu menjalar sejenak.

 “Katakan sesuatu.”

Kyuhyun mengusap lembut pipi Nichan dan menatap sepasang manik coklatnya yang nampak sendu. Ia bisa melihat kilat bening yang membingkai mata gadis itu. Perasaannya benar. Ada yang aneh di dalam sana, Nichan tengah menahan sesuatu. Sebuah rasa yang seolah ia coba tekan agar tak mencuat keluar. Kyuhyun bisa merasakannya.

 “Aku…. mengantuk.”

“Ya! Bukan itu yang terbaca dimatamu.” Kyuhyun mendengus, tidak puas dengan jawaban Nichan. Pria itu menghembuskan nafasnya keras-keras dan kembali menatap Nichan dengan pandangan menyelidik, “Merindukan Rakel?”

Nichan menarik seulas senyum kecil, bersamaan dengan sesuatu yang tiba-tiba mencelos di dalam hatinya. Bingo! Seperti biasa, pria itu berhasil membuat dirinya merasa bodoh karena tak pintar untuk menyembunyikan sesuatu.

 “Berhentilah membaca pikiranku, Cho.” Sahutnya getir.

 “Tidak bisa berhenti, kemampuan itu muncul begitu saja.”

 “Selalu muncul begitu saja?”

 “Hanya muncul saat aku bersamamu.”

Nichan menyentak pelan badannya, membuat wajahnya menjauh sejengkal dari wajah Kyuhyun. Ia tidak ingin pria itu melihat jelas wajahnya yang mungkin mulai memerah saat ini. Gadis itu mengendurkan rangkulannya pada lengan Kyuhyun lalu membalikan posisi tidurnya menjadi terlentang. Tidak berniat untuk menyahut apa pun lagi.

Kyuhyun mengulurkan tangan kirinya ke atas, menepuk-nepuk puncak kepala gadis itu dengan sayang, “Jika kau memang merindukan pria itu, kau bisa menceritakannya padaku.”

Nichan diam.

 “Mimpi itu tentang Rakel, kan?”

Lagi. Kyuhyun bisa menebak dengan tepat. Nichan membenci fakta itu karena jauh di dalam lubuk hatinya dia senang bila Kyuhyun bisa mengerti semua tentangnya.

“Kalau kau merindukan seseorang, menyanyi saja.”

Nichan menolehkan kepalanya dan menatap Kyuhyun. “Menyanyi?”

 Kyuhyun mengangguk. “Kau akan merasa lebih baik.”

Nichan mengalihkan pandangannya. Menatap dinding-dinding yang berisi kumpulan foto Rakel. “Aku tidak tahu, Cho.”

“Ayolah!”

 “Tapi-”

 “Satu lagu saja. Satu lagu saja untuk pria itu.” Kyuhyun mengenggam tangan Nichan yang merangkul lengannya. Memaksanya untuk menyanyi.

 “Untuknya?” Nichan terlihat ragu.

Kyuhyun mengangguk pasti, kemudian mendongakkan kepalanya ke atas, pada beberapa bintang glow in the dark yang di pasang di langit-langit, “Dia ada di atas sana, kan? Kalau begitu, nyanyikan sebuah lagu untuk meluapkan kerinduanmu padanya.”

Nichan ikut mendongak, kemudian tersenyum pada sebuah bintang kecil yang menyala terang di atas sana. Mungkin pria di sampingnya itu benar. Mungkin sebuah lagu sederhana bisa meluapkan kerinduannya tanpa harus menangis, kan? Mungkin sebuah lagu sederhana juga bisa membuat Rakel tersenyum di atas sana.

 “Falling star.” Lalu gadis itu mulai menyanyikan beberapa bait lagu dari Super Junior itu.

Naui gaseumsoge jeojeooneun geudae geuriummani

 (Your yearning came and wetted the inside my heart,)

Ibamdo jeo bidoeeo nareul tto ulligo

 (Even tonight, I’ll become that rain, and make me cry again)

Areumdawotteon uri yenireul ssaenggakae bomyeon

 (If I think about our beautiful past,)

naui aetaneun sarang doraol geot gateunde

 (My altruistic love might come back)

Naui kkumeun sarajeogago seulpeummani gipeoganeunde

 (My dream is disappearing, only sadness is getting deeper)

Naui byeoreun sarajigo eodummani jiteoganeunde

 (My star is disappearing, only darkness is getting darker)

Eodummani jiteoganeunde

 (Only darkness is getting darker.)

Kyuhyun tersenyum puas setelah Nichan selesai menyanyikan lagu itu. Sementara Nichan mengeratkan pelukannya pada lengan Kyuhyun. Ia merasa jauh lebih lega sekarang. Kyuhyun benar, sebuah kerinduannya harusnya memang tak kau tahan. Sebuah kerinduan harusnya malah kau cuat dan luapkan keluar. Tak perlu dengan air mata, mungkin cukup dengan hal-hal sederhana seperti sebuah lagu.

Nichan perlahan menolehkan kepalanya, ingin mengucapkan terimakasih pada Kyuhyun, namun selanjutnya ia hanya bisa bergeming sambil mengatur detak jantungnya saat Cho Kyuhyun tiba-tiba mencondongkan badan mendekat kearahnya. Dengan gerakan yang amat pelan. Wajah pria itu semakin mendekat ke wajahnya, diiringi sentuhan halus jemari-jemari hangat yang memainkan juntaian rambut coklat di samping telinganya,

Semakin dekat.

Hingga kemudian kedua dahi mereka bersatu, hangat. Cukup hangat, sampai kemudian satu kecupan manis dari Kyuhyun mendarat lembut di dahinya.

“Istirahat dan tidurlah dengan nyenyak, Chan. Aku akan menjagamu disini.”

Nichan mengangguk. Kemudian dia tertidur dengan perasaan ringan. Membuat dia tertidur nyenyak. Nyenyak sekali. Sudah lama dia tidak tertidur nyenyak seperti ini. Tidak, setelah Rakel meninggal. Dan ini semua berkat Cho Kyuhyun. Tokoh baru dalam hidupnya. Tokoh yang tidak pernah ia sangka akan membawanya keluar dari mimpi buruk.

Entahlah. Nichan tidak lagi memedulikannya. Dia ingin menikmati tidurnya. Tidur paling indahnya selama tiga tahun belakangan. Yang berhasil membuat perasaanya melambung tinggi ke langit ke tujuh. Bahkan hingga saat ia membuka mata di pagi hari. Perasaan itu masih disana. Tidak saat ia menemukan pria itu sudah tidak ada di kasurnya.

Nichan beranjak dari kasur dan melangkahkan kakinya keluar. Dia menemukan pria itu tertidur di sofa dekat dapur. Nichan kembali ke kamar untuk mengambil selembar selimut dan menyelimuti Kyuhyun yang tertidur dengan tangan terlipat diatas dadanya. Setelah itu, tangannya terulur untuk menyibakan poni Kyuhyun yang menutupi mata pria itu. “Terimakasih, Cho.”

Nichan tidak mengerti apa yang dipikirkannya saat ia kembali ke kamar lalu meraih ponsel berlogo buah apel miliknya. Ia butuh seseorang untuk diajak bicara. Sesorang yang cukup mengenal dirinya. Ia butuh menelepon seseorang dan pilihanya jatuh kepada…

 “Eung~? Here’s Andrew.” sahut suara berat di seberang setelah beberapa lama.

 “Yak! Choi Siwon! Bangun!! Aku tidak mau bicara dengan orang yang setengah tidur!” desis Nichan.

Terdengar geraman kesal dari suara yang keluar dari pewaris tunggal majalah Nylon, “Ya! Kau pikir ini jam berapa, hah? Mataharipun masih tertidur, Raishana Park!” sahutnya dengan suara berat mengambang yang setengah sadar.

Nichan menggembungkan kedua pipinya dengan kesal. “Bangun! Cepat keluar dari selimut! Right now, Andrew Choi! Atau aku akan meluluhlantahkan studio fotomu?”

Okay! Okay! I’m awake!” dengus Siwon disusul suara debuman selimut yang ditarik. “Untuk apa kau meneleponku sepagi ini? Kau merindukan sahabat terbaikmu yang kharismatik ini?”

 “Aku tidak merindukanmu!” Dan kau itu tidak memilik kharisma sama sekali di mataku.” kilah Nichan.

 “Who doesn’t love Andrew Choi?” suara Siwon memekik kesal.

 “I don’t.” tukas Nichan dengan nada datar yang terdengar santai dan tanpa dosa, seperti biasa.

 “Lalu kenapa kau malah meneleponku, huh?” dengusnya kesal.

Nichan terdiam. Dia menghela napasnya. Dia harus menanyakan ini. Bukankah ini tujuan utamanya

  “Emm Andrew?” Nichan sedikit ragu untuk menanyakan hal ini. Tapi dia benar-benar harus. “Bagaimana jika ada seseorang yang mau menungguku, aku harus bagaimana?” potong Nichan kemudian.

 “Menunggu apa?”

Nichan menggerling. Dia memainkan rambutnya. Bergumam panjang untuk mencari cara untuk penjelasannya, “Sesorang menungguku untuk melakukan sesuatu. Aku jawab aku sedang tidak bisa memberinya keputusan. Tidak untuk saat ini. Tapi dia bilang, dia akan tetap menunggu. Terlepas dari akhirnya aku bisa atau tidak bisa melakukannya itu, dia akan tetap menunggu. Lalu, aku. harus bagaimana?”

Suara di seberang diam untuk beberapa saat. “Apa ini tentang Cho Kyuhyun?”

Nichan menelan ludahnya yang terasa pahit. Bukannya menjawab pertanyaan, gadis itu malah melontarkan pertanyaan lain, “Apa aku harus minta maaf?”

Siwon menghela nafasnya sebelum menjawab, “Tergantung. Jika kau memang tidak berniat sama sekali, tentu saja kau harus minta maaf. Tapi jika ada sedikit keinginan dalam hatimu untuk melakukannya, walau kau tidak tau kapan kau akan melakukannya, maka ia ucapkan ‘terimakasih’ padanya” ujar Siwon. Berbeda dengan sebelumnya, nada bicara pria itu terdengar lebih tenang dan hangat kali ini.

 “Terimakasih?”

 “Yap!” sahut suara Siwon, meyakinkan. “Terimakasih, karena dia mau menunggu dalam keterbatasanmu. Terimakasih, karena dia tidak meninggalkanmu sekalipun kau tidak yakin bisakah kau memberikan apa yang ia harapkan.”

Nichan tersenyum, untuk kali ini ia bisa merasakan nasihat hangat dari seorang sahabat lamanya yang benar-benar membuatnya lebih tenang. Ya, ia tidak bisa memungkiri bahwa Choi Siwon punya kekuatan itu. Kekuatan untuk bisa membuat sahabatnya ini menjadi kuat dengan kata-katanya. “Baiklah. Aku mengerti. Terimakasih.”

Nichan memutuskan sambungan teleponnya tepat saat Kyuhyun sudah berada dalam petak yang sama dengannya.

“Aku harus pergi sekarang, Ms. Latte. Aku ada geladi bersih untuk pertunjukan musikalku malam ini.”

Nichan mengangguk. Dia meletakan ponsel miliknya dan mengantar Kyuhyun ke depan pintu apartemennya. Untuk sesaat terjadi keheningan diantara mereka. Hingga akhirnya Nichan memecah keheningan yang akan mengubah hubungan yang terjadi di antara mereka. Lebih tepatnya jawaban untuk Cho Kyuhyun.

“Terimakasih, Cho.” Nichan menatap sayu wajah Mr. Colanya itu. Kali ini dia benar-benar tulus berterimakasih. Tanpa ada penyangkalan apapun. “Terimakasih kau tidak meninggalkanku sekalipun aku tidak yakin bisa memberi apa yang kau harapkan. Terimakasih, Cho.”

Cho Kyuhyun tersenyum. Senyum pertamanya hari ini. Padahal gadis itu hanya mengucapkan terimakasih, tapi kenapa dia bisa sebahagia ini? Apa itu artinya masih ada harapan? Kalau begitu, maka sepertinya janjinya, ia akan menunggu.

Kyuhyun mengangguk-angguk kecil. Namun, senyum itu masih melekat di wajahnya. “Keurom, aku pergi. Aku akan menghubungimu nanti.”

Nichan mengangguk. Sementara Kyuhyun masih menunggu Nichan akan mengucapkan kalimat-kalimat manis berikutnya. Namun, rasanya sudah cukup untuk hari ini. Jadi dia hanya bisa menahan kekehannya dan mengulurkan tangannya untuk mengacak-acak poni Nichan dengan gemas. “Kanda!”

Kyuhyun berbalik lalu melangkahkan kaki menjauh petak apartemen itu dan meninggalkan Nichan yang masih berdiri di ambang pintu. Menatap punggung yang kesepian itu berjalan menjauh.

Terimakasih karena kau mau menungguku tanpa batas dalam setiap keterbatasanku. Beri aku sedikit waktu lagi. Tunggu aku, Cho!

-end-