Tags

Pernahkah?

Pernahkan kalian dihadapi akan kenyataan yang menjadi momok bagimu? Kenyataan bahwa pria yang kaucintai tidak lagi bersamamu? Tidak lagi menemanimu? Meninggalkanmu dalam kesunyian? Meninggalkanmu dengan gadis lain.

Sesak. Sakit. Perih. Luka. Kecewa. Dan Marah. Ya. Mungkin kalian akan marah terhadap pria itu. Tapi tidak dengan gadis ini. Dia merasakan semuanya. Merasakan sesak yang membuatnya kehilangan nafas.  Merasakan sakit yang memedihkan. Merasakan sakit yang memilukan. Merasakan luka yang membuatnya terasa lebih baik mati. Merasakan kecewa hingga ia tidak ingin melanjutkan hidupnya. Tapi dia tidak merasa marah. Dia tidak marah dengan pria itu.

Sebagian dari kalian mungkin berkata bila gadis ini, itu bodoh. Masih banyak pria yang berkeliaran diluar sana. Masih banyak pria yang ingin membahagiakannya. Tapi entahlah. Gadis ini serasa dibutakan oleh cinta. Gadis ini tetap menunggu. Tidak sedikitpun berniat untuk berpaling. Gadis ini adalah bunga matahari. dan bunga matahari ini terus setia menunggu mataharinya. Menunggu pria yang ia cintai.

-=.=-

Gadis itu menggesek biola putih miliknya dengan kesal. Bagaimana permainan biola selalu salah nada. Dia melirik kedalam ruangan vocal. Bagaimana bisa Jongwoon terus membantu seorang gadis bernyanyi sambil tertawa dengan akrab.

Setelah beberapa lama dan Nichan menunggu sambil memainkan biolanya penuh nafsu hingga ada satu senar yang putus. “Aish…” Nichan meletakan biola putih kesayangannya sedikit kasar.

Disaat bersamaan, Jongwoon keluar dengan Heerin. Mereka berdua tertawa lepas dan terlihat sangat akrab.

Oppa, terimakasih untuk hari ini! besok ajarai aku menyanyi lagi, ya !” ujarnya riang. Tapi terdengar memuakan di telinga Nichan.

Jongwoon mengangguk kemudian tersenyum. Memerlihatkan eyesmilenya. “Keuromyo!”

Herein mengambil tasnya lalu berjalan keluar dari studio musik milik Jongwoon. Kemudian, di dekatinya Nichan yang tampak kusut.

Waeyo?” Tanyanya santai saat melihat wajah Nichan yang ditekuk.

Neo jinja babo saramiya!!” Hardiknya kesal.

Pandangan mata Jongwoon teralih pada biola yang terletak disamping Nichan. “Biolamu kenapa?”

“Aku memainkannya dengan nafsu membunuh!!” ketus Nichan, hiperbolis.

Mwo?”

Nichan mengerucutkan bibirnya, sebal, “Jangan terlalu dekat dengan Kim Heerin!!” ucapnya gamblang. Tidak biasanya Nichan mengatakan hal ini dengan gamblang.

Detik berikutnya Jongwoon sudah tertawa terbahak-bahak.

“Tidak ada yang lucu, Oppa! Apa yang kau tertawakan?” responnya malas.

Jongwoon mengacak-acak rambut Nichan dengan gemas. “Ya Tuhan, Kkoma-ya. Kau cemburu? Heerin itu kan sahabatku sejak kecil.”

“Tapi aku tahu, dia menyukaimu!” balas Nichan, masih dengan tampang kesalnya.

“Dan aku mencintaimu!” balas Jongwoon dengan nada genit, “Lalu?”

Nichan menunduk malu, “Lalu aku juga mencintaimu.” Akunya pelan setengah berbisik.

Jongwoon terkekeh lagi, senang sekali rasanya bisa menggoda gadis yang dicintainya ini, “Jadi apa yang harus kau khawatirkan?”

“Dia berhasil membujukmu untuk meninggalkan aku dan berpaling padanya…” Akunya lalu tertunduk.

Dan pria itu kali ini melebarkan matanya yang sipit mendengar perkataan Nichan, “YA!! itu tidak akan mungkin terjadi!”

Wae?”

“Karena Heerin adalah sahabatku, dan akan selalu seperti itu.” tangan kanannya terulur membelai rambut coklat Nichan, kemudian menarik kepala Nichan mendekat lalu mencium kening Nichan dengan lembut. “Dan, kemungkinan untuk aku meninggalkanmu karenanya adalah seperti Perancis tiba-tiba menjadi tetangga dengan Korea. Mendekati mustahil hal itu terjadi.”

-=.=-

Aku terbangun dari mimip itu. Aku mendesah pelan.Lagi. Lagi dan lagi. Mimpi itu terus datang.  Aku menunduk.

“Kau bilang itu tidak mungkin, kan? Kau bilang hal itu mustahil.” Lirihnya. “Ternyata hal yang kau bilang mustahil itu benar-benar terjadi.” Desahnya kesal.

Aku mendesah pelan diantara rasa sesak dan harap. Bila tadi mimpi itu yang mendatangiku, kini memori itu kembali teputar lagi dalam otakku layaknya sebuah film. Memori akan kenangan itu semakin kuat setiap harinya. Aku, kau dan bunga-bunga itu.

Apa kau masih ingat? Kau pernah mengatakan bahwa kau akan selalu bersamaku dan tak akan meninggalkanku, apa kau ingat? Benarkah semua kata-katamu dulu? Jujurkah kau kala itu? Atau hanya sebuah kebohongan untuk menyenangkan hatiku untuk sementara, sebelum kau mengecewakanku?

Ya, mungkin dusta. Nyatanya kata ‘seandainya’ yang bersikeras kau katakan tidak mungkin terwujud kini benar terjadi.

Tapi aku masih ingin percaya. Sedikit saja percaya. Bunga lili yang rapuh ini berusaha untuk menjadi bunga matahari yang selalu setia menunggu mataharinya. Dan aku masih disini sekarang, menunggumu untuk kembali. Karena selamanya aku akan tetap menjadi bunga matahari, kan? Yang akan terus setia menunggu hingga matahari datang dan kembali untuknya…

Aku bangkit, berjalan mendekati jeldela. Kumemandang lurus ke luar jendela. Baru aku sadari bila Yeosu tengah dilanda hujan. Titik-titik air membasahi jendela, membuatnya berkabut. Tidak ada matahari, dan aku benci itu. Aku tersenyum pahit. Bahkan dunia ini juga seolah mengejekku. Dunia ini kehilangan mataharinya karena hujan. Tapi mataharinya akan kembali setelah hujan ini pergi. Benar, kan?

Tapi apakah sama sepertiku? Aku kehilanganmu, kehilangan matahari cintaku. Dan setelah hujan ini pergi, akankah kau kembali kepadaku? Kembali untuk memberikanku kehangatan. Kembali untuk menjadi pelindung bagi bunga lilimu yang rapuh ini.

“Chan-ah…” panggil sebuah suara. “Kau sedang apa?” sebuah suara mengusik.

Aku tidak menjawab. Jemari telunjuk kananku menggambar lukisan kecil dari embun. Tapi ku dengar langkah kaki mendekat. Kemudian sosoknya sudah berdiri di sebelahku. Lee Sungmin. Ia bersandar pada dinding dan ikut menatap keluar jendela. Pemandangan Kebun lili dan Bunga Matahari.

Sepasang matanya itu memperhatikanku yang terus menatap pada jalan setapak gelap diluar sana sambil menggambar setangkai bunga matahari dan juga setangkai bunga lili yang terus menjaga cintaku untukmu.

Bisa kudengar dia mendesah berat, “Chan-ah. Apa kau akan tetap menunggu bila matahari bahkan telah meninggalkanmu petang ini?”

Aku terdiam di tempatku.

“Dia sudah bersama orang lain dan meninggalkanmu, Park Nichan.” ujarnya lagi sedikit banyak ada nada berharap tersirat didalamnya. “Meninggalkan semua yang kau simpan sebagai kenangan. Mungkin dia bahkan sudah melupakan satu persatu cerita tentang kalian dari hidupnya. Mungkin juga dia yang kau tunggu tak lagi mengagumi bunga bunga itu seperti dulu. Mungkin bunga matahari baginya hanyalah satu dari sekian masa lalunya yang indah.”

“Mungkin. Itu karena kau tidak mengenalnya, Sungmin-ah.” potongku, sedikit sinis, “Dia pasti akan kembali dan aku akan menunggunya walau selamanya aku harus menunggu.”

Aku tak menoleh, tapi aku bisa mendengar pria itu berdecak kesal, “Lalu bagaimana denganku? Kapan kau akan mulai belajar mencintaiku?”

Aku menelan ludah, “Kau boleh menganggap aku bodoh atau apapun itu. Tapi, bagaimana jika aku tidak tahu cara untuk mencintaimu? Bagaimana jika hatiku hanya menginginkan dia?”

Ya. Aku hanya menginginkan dia. Mengingkan sosok Kim Jongwoon yang ada disisiku. Walaupun dirinya sudah tidak lagi menginginkanku.

“Bukannya tidak tahu. Kau hanya tidak mau.” Ucapnya intens dan dengan penekan dalam kata tidak mau.

Aku menunduk. Yah, dia benar. Bukannya aku tidak tahu caranya, aku tidak mau melakukannya. Sampai kapanpun juga. Apapun yang terjadi, apapun yang ada didekatnya, bunga matahari akan selalu setia terhadap matahari.

Pintu terbuka. “Nichan-ah, apa kau di dalam?” suara sahabat yang sudah kuanggap saudaraku sendiri itu masuk.

“O. Wae?”

Eommonim sudah menunggumu. Kau harus fitting hari ini, kan?”

Aku mengangguk kecil, “Eomma eodiya?”

“Di sudah menunggu di dalam mobil. Kajja!”

“Maaf aku tidak bisa mengantarmu.” Pamit Sungmin.

Aku tak peduli, apakah kau menemaniku atau tidak.  Aku tidak membutuhkanmu. Hanya Jongwoon yang ku mau dan yang aku butuhkan untuk berada disisiku.

Tapi aku tidak mungkin mengatakan itu. Aku hanya mengangguk lemah. Kemudian aku mulai melangkah keluar dan masuk ke dalam mobil. Ya. Aku selalu menunggumu, Oppa. Tapi aku tidak bisa melawan Eomma. Maafkan aku, Oppa. Andai saja itu bukan keinginan Eomma, aku tidak akan melakukannya. Andai saja itu bukan harapan Eomma tentangku, aku tidak akan terpaksa menyetujuinya. Maaf…

Setiba mobil ini berhenti di depan butik, aku keluar dengan malas. Berbanding terbalik dengan Eomma yang terlihat sangat semangat. Sementara Byulhyun, berusaha untuk menghiburku dan menguatkan hatiku.

“Ah, Eomma, aku ke toilet sebentar.”

“Ne. Jangan terlalu lama.”

Aku mengangguk dan berjalan menuju toilet. Aku membasuh mukaku di wastafel. Kupandangi bayanganku di kaca itu.

“Menyedihkan!” Lirihku lalu berjalan masuk kedalam ruangan fiting.

“Nichan-ah?!!”

Baru saja hendak menutup pintu, detik itu juga aku tercekat. Yang memanggilku tadi, itu bukan suara Eomma. Tapi suara gadis itu.

Aku menoleh pelan. Disana. Berdiri gadis itu dengan gaun pengantinnya berwarna kuning gading yang terlihat lembut dan sangat pas menempel pada tubuh gadis itu. Aku tersenyum kecut.

“Nichan-ah, kami sudah menerima undangannya dari Ahrim Ahjumma..” ujarnya lagi, terdengar riang dan begitu bersahabat, “Chukhae… Lusa kau akan menikah dengan Sungmin. Chukahaeyo.”

Ia kembali tersenyum bersahabat kearahku sambil sebelah tangannya bergerak mengapit sebuah lengan. Lengan dengan kemeja putih yang tak asing bagiku. Lengan dengan aroma parfum yang sama seperti dua tahun lalu. Aku menelan ludah, mendongak kecil mengikuti lengan yang nampak hangat itu.

Dan kedua mata kita bertemu. Kugigit bibir bawahku. Menahan pedih. Menahan sakit. Perih. Menahan sesak. Sepasang bola matamu yang dulu terlihat damai dan menenangkan itu kini menyesakkan dan menyakitkan untukku. Aku tak lagi bisa menebak emosi apa pun disana. Kau terlalu menutupi segalanya dibalik kedua manik itu.

Tatapan itu lembut, namun menikam. Menusuk hingga dalam relungku yang terdalam. Membuatku ingin lenyap dan tak ingin lagi untuk hidup. Tapi jika aku mati, aku tidak akan bisa melihatmu lagi. Akh… Sakit. Sangat sangit. Benar-benar menyiksaku. Bahkan saking sakitnya, air mata ini tak tega untuk mengalir. Dadaku amat sesak dan sebentar lagi mungkin aku tak akan bisa bernafas.

Kenapa? Kenapa saat kita bertatap seperti ini malah terasa menyakitkan hingga rasanya lebih baik untuk mati.

Neo… Apa kau baik-baik saja?” dan suaramu memecah sunyi, lirih, menusuk, dan menyakitkan. Dan entah kenapa, bukannya membantu, memori itu malah berputar dengan sendirinya. Memori disaat-saat terakhir kau masih menjadi milikku. Memori disaat kau meninggalkanku…

-=.=-

“Maaf. Tapi aku harus pergi. Aku sudah… memilih gadis lain…” suara parau itu membuat Nichan tertegun. Sambil meremas tangannya, ia tahan air matanya kuat-kuat, pria tadi berusaha mendongak menatap sepasang mata yang menatapnya dengan nanar.

“Aku tidak bisa bersamamu lagi. Maafkan aku, Chan-ah…”

Nichan terdiam di tempat. Dia tidak menangsi sedih ataupun marah. Dia ingin berteriak, tapi kelu. Dia ingin menangis, tapi kering. Dia ingin marah, tapi tak berdaya.

Dia terlalu tercekat dan terguncang akan badai yang tiba-tiba menghantamnya. Seolah ada sesuatu yang mengganjal dalam tenggorokannya, Nichan tercekat. Puluhan pertanyaan yang siap dilontarkan, tertelan kembali.

Hingga kemudian, dia hanya dapat meluncurkan dengan pias sebuah rangkaian kata yang akan menjawab semua pertanyaannya. “Kim Heerin?” tanya setengah berbisik dan lirih. Sakit dan perih terdengar jelas penuturan dari bibir mungil Nichan yang menandakan perasaan gadis itu hancur menjadi serpihan yang tak mungkin disatukan kembali.

Dan pria itu refleks mengigit bibirnya sendiri dengan keras. Seolah ada tumpukan beton yang tiba-tiba jatuh membebani kepalanya hingga ia tertunduk. Tahu. Tanpa ia bicara pun gadis itu ternyata sudah tahu.

Oppa.” panggil Nichan, begitu lemah tidak berdaya dan terdengar memilukan, “Kau bilang kau tidak men…“

Jongwoon mendongak, “Heerin sakit parah dan umurnya mungkin tidak akan lama lagi. Aku harus bersamanya.” Potongnya cepat

Nichan tersenyum. Untuk pertama kalinya gadis itu tersenyum mendengar nama ‘Heerin’ terucap dari mulut Jongwoon. Sayangnya, bukan sebuah senyum yang menyenangkan. Senyum pahit yang terlalu susah untuk didiskripsikan.

“K.. kau mencintainya?” lirih Nichan dengan suaranya yang bergetar.

Jongwoon menelan ludah. Dia hanya mengangguk kecil. “Aku sayang padanya.” Bisiknya.

Dan saat itu juga ketegaran Nichan runtuh. Rasa sesak yang sedari tadi menyerang dadanya kini terasa jauh lebih perih. Dadanya seras dihimpit dengan bebatuan tajam. Sementara sepasang mata coklatnya, tak mampu lagi menahan cairan bening yang kemudian mengalir turun dan jatuh membuat aliran sungai dipipinya.

Sepasang tangan hangat Jongwoon beralih merengkuh wajah Nichan. Ia menghapus lembut tiap air mata yang mengalir di pipi Nichan dan mengecup puncak kepala gadis yang amat dicintainya itu dalam hening.

“Maaf aku mohon kau untuk melepasku…” Kemudian berbalik dan beranjak pergi.

Oppa!!” teriak Nichan kemudian, memecah malam. Kesadarannya seolah baru kembali beberapa saat lalu, “Aku akan menunggumu!”

Pria itu berhenti, tapi pria tidak menyahut, dan akhirnya punggungnya semakin menjauh.

Nichan menyeka kasar air matanya. “Aku akan menunggumu! Walau membutuhkan waktu lama, aku akan tetap menunggumu! Kau pasti kembali padaku, kan?” lirihnya tak jauh pada dirinya sendiri.

Tapi hatinya kembali hancur. Heerin. Gadis itu berdiri di ambang pintu. Menunggu pria –yang dulu- miliknya meraihnya dalam genggaman hangat. Jongwoon berjalan keluar sambil merangkul pundak Heerin.

Sakit dan sesak tak tertahan. Ia keluarkan isak tangis yang sejak tadi ia tahan. Musim panas ini berubah dingin dan menakutkan.

-=.=-

“Chan-ah, kau baik-baik saja?” Dan suaramu mengembalikan nyawaku dari masa lalu.

Tidak. Kau tahu? Aku tak pernah merasa baik sejak kau meninggalkanku. Aku tak pernah baik-baik saja sepanjang hariku tanpamu. Kata burukpun jauh lebih baik dari pada keadaanku, kau tahu itu?

Aku lelah, benar-benar lelah seperti mati. Rasanya kosong. Begitu hampa setelah kau meninggalkanku. Asing. Begitu tak kukenal hingga terkesan tak bersahabat. Perih. Begitu sakit dan pedih hingga terkasan lebih baik aku mati. Apakah kau juga merasakan hal yang sama kala melangkah pergi meninggalkan ruang hatiku kala itu?

Aku kembali menatap sepasang matamu lagi, dalam-dalam.Aku tidak tahu sejak kapan bulir-bulir bening itu mulai menggenang dan membuat kabur pandanganku. Bahkan jika mereka mulai menerobos keluar pun aku tak lagi peduli. Bukankah tangis adalah ekspresi dari sebuah rasa sakit? Agar aku tak perlu mengucapkannya karena terlalu sakit. Biarlah kau tahu seberapa sakit dan hancurnya aku, ketika kau melihat airmataku ini.

Aku tersenyum pias membalas sapaanmu, “Bunga matahari bisa menjadi serapuh bunga lili, karena tidak akan pernah bisa menjadi baik-baik saja saat matahari meninggalkannya, kan?”

Geurae.” Ucapmu lirih sambil mengangguk kecil. Aku yakin kau tahu maksudku. Tapi aku hanya bersikap seperti itu? Bisakah kau sedikit peka akan perasaanku?

“Heerin-ah, aku tunggu di mobil. Kau sudah selesai, kan?”

Dan kau berlalu begitu saja. Meninggakanku lagi. Hanya punggungmu yang dapat ku jangkau. Kapan kudapat menjangkau wajahmu kembali?

-=.=-

“Nichan-ah, kau cantik sekali dengan gaun itu.” Puji Eomma.

Tapi aku hanya diam membeku dan membisu. Aku tidak merespon. Tidak peduli aku terlihat cantik ataupun jelek dengan gaun ini.

Seolah ada magnet, mataku tertarik melihat keluar jendela. Dan pedih itu kembali kurasa. Kau bersamanya. Aku tidak bisa melihat ekspresi kalian. Tapi kau berjalan bersamanya. Merangkul pundaknya dan mengelus lengannya.

Tak kuasa kumelihat kalian lebih lama. Aku menunduk dan meremas gaun ini. Andai semua yang kujalani bersamamu bukan bersamanya. Andai kau tidak pernah pergi meninggalkanku deminya. Semua ini. semua penderitaanku. Semua penantianku, akankah semuanya berakhir segera? Akankah aku dapat kembali ke dalam dekapmu?

“Sudahkan? Aku bisa mengganti pakaianku lagi?” Tanyaku malas. Berada disini lebih lama sama saja aku membunuh hatiku perlahan.

Eomma mengangguk. “Kau boleh pergi.”

Aku segera masuk kedalam bilik dan melepas gaun pengantin yang sebenarnya indah itu tapi menyesakan bila ku pakai.

Aku berjalan keluar. Tanpa perintah kakiku terus melangkah. Melangkah menyusuri jalanan sepi kota Yeosu. Dan entah kenapa kakiku berhasil menapakai kebun itu. Kebun penuh kenangan itu. Kenanganku saat bersamanya.

-=.=-

Dua pasang kaki melangkah menapaki jalan setapak kecil di daerah perkebunan Yeosu. Seorang pria dengan seragam hitam terus melangkahkan kakinya pelan sambil menikmati udara segar di perkebunan itu. Sementara gadis di sebelahnya, berjalan dengan menggelayut manja pada lengan kiri pria itu nampak tersenyum tipis. Pemandangan itu menampakan kebahagiaan yang sempurna.

“Aahh.. musim semi akan segera berakhir…” keluh gadis itu.

 Jongwoon menoleh menatap gadisnya itu.“Kenapa, Kkoma-ya? Kau tidak suka?”

Nichan menggeleng, “Aku suka melihat bunga lili!!”

“Kau suka bunga lili?”

“O.” angguknya, kemudian memeluk lengan Jongwoon lebih erat, menyandarkan kepalanya ke lengan pria itu juga, “Karena kau.”

Jongwoon berjengit bingung, “Aku?”

Nichan kembali mengangguk, menyembunyikan senyuman kecilnya, “Putih dan lembut. Sama sepertimu. Selalu memberiku kelembutan hingga aku merasa nyaman.”

Dan detik berikutnya, tanpa perlu diketahui seorang Park Nichan dan Kim Jongwoon mencoba  menyembunyikan sebuah senyum bahagia. Lalu hening untuk beberapa waktu. Kaki mereka terus melangkah. Tapi Jongwoon membelokan arah hingga akhirnya mereka berjalan menjauhi jalan menuju rumah mereka.

Nichan berjengit. “Yogi eodiga?”Tanyanya penasaran sambil menatap Jongwoon.

Jongwoon tersenyum kecil. “Kita akan pergi ke tempat dimana kau bisa melihat bunga lili sesukamu. Lihatlah ke depan!” Ucapnya.

Dan sedetik kemudian, mata Nichan disambut oleh lautan bunga lili yang terhampar indah bermekeran di penghujung musim semi. Nichan berlari mendekati kebun lili itu. Dia meraih bunga lili putih yang tumbuh di tepi.

“Kau suka?” tanya Jongwoon.

Nichan mengangguk puas. Senyum indah yang merekah dari bibirnya tidak pernah terlepas. Ia langsung berjalan menerobos padang bunga itu sambil terkekeh riang. Jongwoon berjalan disampingnya, hingga kemudian Jongwoon berhasil menangkap pinggang Nichan dari belakang dan mendekap gadis itu dalam dekapan hangatnya

“Kau tahu, Kkoma? Kau mirip dengan buna lili putih ini. Kau tahu kenapa?”

Nichan menggeleng. “Waeyo? Ppali malhaebwa!”

Jongwoon menatap kedua mata coklat milik Nichan. “Putih, lembut dan cantik. Sama sepertimu. Dan rapuh. Untuk itulah ada aku yang akan selalu menjaga dan melindungimu.”

 “Gomapta.” Ujar Nichan lalu tersenyum dan juga tersipu.

“Kkoma, kau lihat padang bunga matahari didepan?” Tanya Jongwoon tiba-tiba. Nichan melihat padang bunga matahari yang Jongwoon maksudkan. “Kau tahu kenapa bunga-bunga itu dinamai bunga matahari?”

Waeyo?”

Jongwoon terkekeh lalu melepas pelukannya. Dia berjalan mengitarinya dan berhenti dihadapannya. Ia menatap sepasang mata coklat Nichan dalam-dalam, “Karena bunga matahari itu spesial. Bunga matahari itu memiliki keistimewaan.”

 “Bunga matahari selalu tumbuh dan bergerak mengikuti matahari, Geuchi?”Jawab Nichan polos.

Jongwoon mengangguk, tangannya beralih mengacak-acak rambut Nichan, “Karena itu, aku ingin kau jadi bunga matahariku. Agar kau selalu tumbuh dan bergerak, maju dan melangkah mengikutiku. Selalu bersamaku. Tidak dengan yang lain. Kau mau, kan?”Tanya Jongwoon lalu menyodorkan setangkai lili putih.

Nichan langsung memeluk Jongwoon lalu menerima bunga lili putih itu dan memejamkan matanya, kemudian tersenyum, “Mm… Lalu saat malam tiba dan matahari pergi untuk waktu yang lama, maka aku akan diam dan tetap setia menunggu sampai pagi datang dan matahari kembali lagi untukku, kembali untuk membimbingku…”

Jongwoon langsung melepas pelukannya kemudian menyipitkan matanya yang sudah sipit saat mendengar kata-kata Nichan. Jongwoon “YA!! Kenapa kau berkata seolah-olah aku akan meninggalkanmu?”

Nichan terkekeh, “Mungkin saja nanti kau akan meninggalkanku.”

“Aku tidak akan meninggalkanmu!”

“Siapa tahu suatu saat kau meninggalkanku. Karena Heerin mungkin.” Sergahnya.

Jongwoon melepas pelukannya “Sampai kapanpun aku tak akan meninggalkanmu! Untuk alasan apapun.”

“Tidak ada yang mustahil di dunia ini. Semua bisa terjadi. Jadi mungkin kau akan pergi. Mungkin kau akan pergi dan meninggalkanku walau sebentar. Walau bukan karena Heerin…”

“Aku tidak akan pergi!!”

 “Ya, kan hanya seandainya saja.”

“Bahkan walau hanya ‘seandainya’, aku tidak akan meninggalkanmu, Park Nichan!” ujar Jongwoon dengan tegas lalu memeluk Nichan. “Aku akan selalu bersamamu dan tak akan meninggalkanmu, itu pasti!”

Nichan terkekeh puas, “Memangnya sampai kapan kau akan selalu mencintaiku?”

Tawa Nichan terhenti saat kedua tangan hangat Jongwoon menangkup wajahnya, “Sampai tak ada lagi satupun bunga lili dan bunga matahari yang tumbuh yang tumbuh di dunia ini.”

“Benarkah?”

-=.=-

“Benarkah?”

Aku berdecak pelan diantara rasa sesak dan harap. Memori itu kembali teputar lagi dalam otakku saat tanganku mulai menyentuh bunga kuning itu. Memori akan kenangan itu semakin kuat setiap harinya. Aku, kau dan bunga-bunga itu.

Apa kau masih ingat? Kau pernah mengatakan bahwa kau akan selalu bersamaku dan tak akan meninggalkanku, apa kau ingat? Benarkah semua kata-katamu dulu? Atau hanya sebuah kebohongan untuk menyenangkan hatiku untuk sementara, sebelum kau mengecewakanku?

Terdengar suara mesin mobil yang mendekat kemudian berhenti. Aku menoleh dan  tersenyum miris, menatapnya dari kejauhan mata. Dia. Pria itu. Kim Jongwoon tengah berjalan bersama gadis itu. Menuntunnya dalam rangkulan tangannya memasuki kedai itu.

Kini Jongwoon, duduk berhadapan di sebuah kedai ramyun. Dia menyuapinya dengan manis, menyeka keringatnya dengan sapu tangan, mengusap sudut bibirnya dengan jemari mungilnya. Lalu dia tersenyum. Senyum tulusnya yang dulu hanyalah milikku. Senyum tulusnya yang kini mungkin hanya untuknya. Kim Heerin.

“Kau ada di sini?”

Aku menoleh. Kim Byulhyun. Gadis yang masih setia menjadi sahabat bahkan aku sudah menganggapnya sebagai saudaraku itu berdiri tepat di belakangku sekarang. Kami berada dalam petak yang sama. Petak penuh ratusan bunga cantik berwarna kuning. Ya, aku disini sekarang. Berdiri di tengah-tengah padang bunga lili. Sedang kau berada di seberang jalan sana.

“Park Nichan! Apa kau mendengarku?” Ulangnya.

Aku mendesah. Sepertinya tak perlu dijawab pun Byulhyun sudah melihat bahwa aku masih berada di tempat yang sama. Tempat yang sama setiap waktunya, dimana aku mengamatimu yang terus bersama gadis itu, dimana aku mengenang semua kenangan indah kita bersama bunga-bunga putih ini, dan dimana aku diam-diam selalu menunggumu untuk kembali ke dalam dekapanku.

Ne. Wae?” Sahurku lemah.

Bisa kurasakan Byulhyun menatapku tajam saat ini. Sepertinya banyak sekali pertanyaan bisu yang siap ia lontarkan. “Kenapa kau berada disini? Lagi.” Dengan lelah dia bertanya padaku. Matanya lalu ikut tertuju pada arah pandanganku yang tak juga beralih sejak tadi. Tempat kau saat ini tengah tersenyum mengacak-acak gemas rambut gadis itu, “Apa kau disini karenanya? Lagi? Pria yang bahkan sudah menyakitimu dan meninggalkanmu?”

Aku mengangguk kecil tanpa menatapnya, karena aku masih menatap dia. Ya, karena kau sudah tak lagi jadi milikku, setidaknya aku masih bisa menatapmu.

Byulhyun menghela nafas, “Kau yakin pria itu akan kembali padamu?”

“Mungkin…” jawabku. Hah, bahkan diriku sendiri tidak yakin apakah kau akan benar-benar kembali padaku.

“Aish… Park Nichan!” Byulhyun berdecak kesal kali ini, “Bagaimana bisa kau tetap disini menunggu dia yang entah kapan kembali, sedangkan kau sebentar lagi akan menikah.” Ya, dan selanjutnya kubiarkan ia menceramahiku. Tak lama dia mendenguskesal, “Lebih baik aku diam saja. Walau aku meneruskan sampai membayangkan seorang bayi, kau tetap tidak akan tersenyum. Dan kau tidak akan pernah bisa melupakan dia.”

Aku diam. Aku tidak pernah bisa melupakanmu. Semua yang ada di otakku selama ini hanya tentangmu. Bagaimana aku harus hidup tanpamu, aku tidak tahu. Bagaimana caranya aku bertahan untuk menunggumu, aku juga tidak tahu. Dan mungkin, aku pun tidak cukup tahu bahwa diluar sana ada banyak pria lain selain kau.

Sementara disana, di kedai ramen itu, kau beranjak keluar sambil menggandeng gadismu pergi. Gadis itu. Kim Heerin.

Aku memetik setangkai kecil bunga lili kemudian menghirupnya dalam-dalam sambil memperhatikan sosokmu yang masuk kedalam mobil kemudian menghilang di tikungan. Mungkin aku memang tak bisa melupakanmu. Dan aku tak pernah berniat untuk melupakanmu…

-=.=-

Tempat ini kosong. Tidak seperti saat kita masih saling bicara tentang mentari, bunga dan semua tentang kita.

Rancu. Begitu menyesakan dan menyakitkan kenangan yang tertinggal tentangmu. Dan aku tetap terpuruk dalam sesal akan kepergianmu..

Sepi. Begitu kesepian rasa yang mengacau setiap kali aku datangi tempat ini. Tak ada lagi kau yang menemani hidupku.

Sunyi. Begitu hampa hingga tak ada suara yang sanggup memecahkan hening khayalku lagi. Tak ada lagi tuturan kata yang selalu menyemangatiku dan menenangkanku.

Dingin. Hingga tak ada cahaya matahari yang bisa berikan sedikit kehangatannya dan petunjuk kemana aku harus mengarah.

-=.=-

Aku diam. Kembali meresapi semua kenangan yang pernah kita lalui di tempat ini. Tanpa peduli pada orang-orang yang menatap aneh kearahku. Atau bahkan menertawakanku sebagai orang gila. Tanpa peduli pada tata rias yang mulai luntur ataupun gaunku yang terkotori tanah. Aku tidak peduli.

“Park Nichan!!” pekikkan itu mengangguku.

Aku menoleh pelan. Gadis itu tampak berlari kecil kearahku, menerobos bunga-bunga lili itu dengan terengah-engah. Mengejarku yang tengah ada di pettak bunga matahari, dia harus melewati petak bunga lili yang ada didepannya.

Kim Byulhyun. Harusnya aku tahu bahwa gadis itu akan segera menemukanku disini. Byulhyun berhenti di hadapanku dan langsung menghardik keras, “YA! Sedang apa kau disini? Kau harus sudah di gereja sebelum jam 10 nanti. Dan…” wajahnya terlihat shock menatap penampilanku, “Apa ini? Lihat, gaunmu kotor! Rambutmu berantakkan! Make up-mu luntur! Aish… kau benar-benar kacau.”

Aku hanya diam. Terlalu gamang untuk bicara.

Byulhyun terus berdecak dan merapikan tatanan rambutku, “Ya Tuhan! Park Nichan! Apa yang kau pikirkan? Kau harus menikah dengan Sungmin hari ini.”

Dan detik itu juga aku memeluknya. Terisak. Menangis disana. Menumpahkan semua rasa pedihku. Membiarkan air mata menjalankan tugasnya untuk menangisi segalanya. Segala tentang rasaku untukmu yang kutahan selama ini.

“Chan-ah.. Gwaenchana?” tanyanya, mengusap punggungku.

“Hhhh… Bisakah aku tidak menikah?” lirihku, parau.

“Kau mau menyakiti Eommonim?” tanyanya, setengah berbisik. Ia beralih mengusap rambutku dan membiarkanku terus menangis di pundaknya, “Mungkin ini permintaan terakhirnya sebelum beliau pergi.”

Permintaan terakhir Eomma, agar aku segera menikah. Aku tahu itu. Tapi aku merasa tak nyaman dengan pilihan itu. Jika aku menyerah seperti ini, bukankah aku tidak akan bisa melihatmu lagi? Jika aku sudah terikat dengan orang lain, bukankah aku tidak akan bisa menunggumu lagi? Dan bisakah aku mencintai orang lain sedangkan semua kenangan tentangmu itu masih terukir jelas dalam ingatanku?

“Tapi aku tidak ingin menikah dengan Sungmin. Aku…”

“Kim Jongwoon?” potong Byulhyun, seolah gadis itu bisa membaca pikiranku dengan jelas, “Apa kau mau menikah dengan Kim Jongwoon?”

Aku mengangguk kecil sambil terus terisak.

Byulhyun perlahan melepaskan pelukannya, kemudian menyeka air mataku, “Dia sudah meninggalkanmu, Chan-ah. Kau sudah terlalu lama menunggunya, dan mungkin dia tak akan kembali padamu…”

“Tapi…”

TIN… TIN…

Suara klakson memutus perkataanku. Sebuah mobil BMW 7s hitam berhiaskan rangkaian bunga tampak menepi. Seorang pria dengan tuxedo putih keluar dari dalam mobil dan berlari kecil menerobos bunga-bunga lili yang bermekaran yang bermekaran di musim semi ini.

“Sungmin-ah.” Lirihku. Aku menelan ludah ketika ia berhenti tepat di hadapanku.

Sungmin tersenyum, kemudian menyodorkan tangannya kearahku, “Bisakah? Bunga lili ini berhenti menjadi bunga matahari dan mulai menerima bulan untuk kali ini? Kumohon…”

Tapi… aku harus tetap menjadi bunga mataharimu kan, Jongwoon Oppa?

“Kuanggap diammu itu adalah persetujuan!” putus Sungmin tiba-tiba.

Dan akhirnya aku tak mengatakan apa pun, dan tak lagi bisa berontak saat tangannya menggenggam tanganku. Menuntunku menuju mobil, keluar dari padang bunga-bunga ini. Bunga Matahari dan Bunga Lili. Kenangan terindah kita… Kau dan aku. Lalu air mataku kembali mengalir. Menetes jatuh membasahi pipiku.

-=.=-

“Tersenyumlah, Chan-ah…” bisik Byulhyun.

Dan senyumku terkembang. Ya, senyum palsuku yang terlalu dipaksakan. Bahkan aku sendiri mengakuinya. Bibirku tersenyum? Ya benar. Tapi hatiku menangis sendu.

Byulhyun ikut tersenyum, ia menyeka air mataku sambil berharap cairan bening itu tak akan mengalir lagi. Tapi itu tak mungkin kan? Aku bukan gadis yang sekuat itu hingga bisa menahan sakit dari air mata di pelupuk. Karena semakin kutahan, semakin mereka meronta meminta untuk jatuh.

“Kau siap?” tanya Sungmin.

Aku tak menjawab, hanya mengalungkan lenganku pada lengan kanannya dengan lemah. Aku menatap rangkain bunga ditanganku. Sebuah bunga matahari dikelilingi lili putih dan mawar merah.

Kemudian pintu besar gereja kuno di Yeosu itu terbuka. Sungmin menengok kecil ke arahku dan tersenyum kecil. Lalu ia membimbingku melangkah masuk. Musik romance clasic mengalun. Semua orang di dalam gereja berdiri menyambut setiap langkah yang berpijak mendekati altar. Mereka menaburkan kelopak-kelopak bunga. Bukan, itu hanya bunga mawar. Akhh… beginikah rasanya seseorang yang akan mengucap ikrar cinta atas nama Tuhan? Tapi kenapa… kenapa sesakit ini?

-=.=-

“Aku ingin kau jadi bunga matahariku. Agar kau selalu tumbuh dan bergerak, maju dan melangkah mengikutiku. Selalu bersamaku..”

-=.=-

Aku terus melangkah. Pelan. Sepelan mungkin. Membiarkan kalimat-kalimat manis itu terkenang penuh dalam otakku. Membiarkan senyum tulusmu kembali terbayang dalam setiap sel otakku.

-=.=-

“Bahkan walau hanya ‘seandainya’, aku tidak akan meninggalkanmu, Park Nichan! Aku akan selalu bersamamu dan tak akan meninggalkanmu, itu pasti!”

-=.=-

Langkahku masih terayun menuju altar. Terayun pelan, dihiasi tetes-tetes bening yang satu persatu mulai tumpah dari pelupuk. Jatuh membasahi karpet merah bertabur kelopak mawar.

Adakah dari mereka yang berpikir bila ini tangis kesedihan? Tentu saja tidak ada. Mereka pasti berpikir ini adalah tangis bahagia. Benarkah bila kau benar-benar sudah tak lagi mencintaiku?

-=.=-

 “Memangnya sampai kapan kau akan selalu mencintaiku?”

 “Sampai tak ada lagi satupun bunga lili dan bunga matahari yang tumbuh yang tumbuh di dunia ini..”

-=.=-

Oppa, lalu bagaimana tentang janji itu? Apa kau benar-benar tetap akan mencintaiku sampai tak ada lagi bunga lili dan bunga matahari yang tumbuh yang tumbuh? Kenapa kau tidak memberikan aku kepastian agar hati ini tak lagi merasakan sesak? Aku sudah terlalu menderita dengan semua kenyataan ini.

Aku terus melangkah. Sedikit lagi. Mendekati altar. Namun langkahku melemah. Terhuyung. Aku terisak lirih, tapi hiruk pikuk dalam gereja ini seolah meredam isakku. Selain diriku sendiri, tidak ada yang tahu bahwa aku tidak bisa melakukannya. Ya, aku tidak bisa menikah dengan Sungmin! Tidak bisa selama pria itu bukanlah dirimu. Selama nafas ini masih berhembus, aku hanya menginginkanmu. Dan dalam setiap tarikan nafas ini, cintaku terus memanggilmu dan selalu hanya untukmu.

Aku mencintaimu, Kim Jongwoon! Aku sungguh mencintaimu! Walau tak bisa kuucapkan dengan lantang saat ini, disini, tapi hatiku meneriakkan itu! Aku sungguh mencintaimu! Apa kau mendengarnya? Apa kau mendengar teriakan hati bunga mataharimu ini?!

Tiga langkah lagi dan aku akan sampai di altar suci itu. Bersama Sungmin, bukan bersamamu. Dan hatiku menjerit memberontak. Dan itu sakit hingga rasanya nyaris mati.

Aku memejamkan mata sejenak. Mencoba beralih dari realita. Dan dalam bayanganku, aku mendengar derap langkah, derap langkah yang semakin dekat. Derap langkahmu yang memecah sunyi dan mengejarku. Mengejarku agar tak pergi dan tetap menunggu karena kau akan kembali. Aku merasakannya kau menariku masuk kedalam dekapanmu.

“WOAHHHH!!!!”

Semua orang di dalam gereja terdengar memekik histeris. Aku membuka mata perlahan menahan air mataku dalam dekapan hangat.

“Aku kembali…” bisikmu.

Kau memeluk semakin erat. Begitu hangat. Kim Jongwoon? Benarkah ini kau? Kau kembali padaku? Atau ini hanya sebuah halusinasiku yang terlalu mengharapkanmu untuk kembali? Atau…

“Matahari ini kembali pada bunga mataharinya.” bisikmu lagi, meyakinkanku.

Lalu yang bisa kulakukan selanjutnya adalah kembali menangis. Terisak dalam pelukanmu. Melingkupkan kedua lenganku erat-erat pada pinggangmu. Semua ini terlalu mengejutkan tapi membahagiakan. Aku bahkan tak bisa berhenti menangis karena terlalu bahagia. Kau tahu? Tadinya aku mulai berpikir bahwa kau tak akan pernah kembali padaku. Dan itu menyiksaku.

“Kenapa? Kenapa kau kembali?” Tanyaku masih dalam pelukannya.

“Bukankah aku sudah berjanji? Berjanji untuk mencintaimu hingga tidak ada lagi bunga lili dan bunga matahari yang mekar di dunia ini.” jawabmu lalu tersenyum menghadapku.

Aku tersenyum. “Bagaimana dengan Heerin?”

“Dia melepasku. Membiarkan aku memilih untuk bersama dengan gadis yang sangat kucintai. Dan karena aku mencintaimu…”

Dan detik itu juga aku kembali membenamkan diri dalam pelukanmu. Balas memelukmu, erat. Seerat mungkin agar kau tak lagi lepas. Seerat mungkin agar kau bisa tahu seberapa aku menginginkanmu untuk kembali untuk mendekapku.

Dan setelah beberapa lama dia memeluknya. Satu hal yang ia sadari. “Kenapa? Pakaianmu basah?”

-=.=-

Oppa…” Panggil Heerin lemah.

“Eung?” Jongwoon menjawab sambil menatap lautan biru lepas dihadapannya. Menunggu sebuah gundukan yang akan menyambutnya. Sebuah dataran baru yang akan menyaksikan dirinya mengucap janji suci dengan gadis itu. Janji suci yang akan menghancurkan hati dan jiwanya.

“Tiga hari kedepan, kita akan menikah. Apa kau sudah siap?”

Jongwoon menghela nafasnya lalu mengangguk. Tak kuasa mengucapkan kata ‘tidak’ tapi dia juga tidak kuasa mengatakan ‘iya’ pada gadis yang kini ada disampingnya.

Dia tidak ingin mengatakan ‘tidak’ karena pasti akan menyakiti perasaan Heerin. Dan mungkin saja berpengaruh kesehatan gadis itu.

Tapi dia juga tidak sanggup mengiyakannya. Bila berkata siap. Ya ia memang siap untuk membohongi dirinya sendiri. Siap untuk menghancurkan bahkan membunuh hatinya sendiri. Siap untuk bermain dengan ikrar suci di depan Tuhan. Siap kehilangan cinta dalam hidupnya. Tapi ia belum siap akan satu hal. Ia belum siap menghapus semua kenangannya dan juga perasaanya pada gadis yang selalu mengisi setiap relung hatinya, Park Nichan.

Heerin menghela nafasnya melihat Jongwoon yang tidak semangat seperti itu. Bukannya dia tidak tahu, bila Jongwoon tidak mencintainya dan masih mencintai gadisnya yang dulu. Tapi dia juga gadis normal yang menginginkan pria yang ia cintai berada disisinya. Terutama disaat saat seperti ini. saat… ehem… akhir hidupnya.

“Kau tau bila Nichan akan menikah dengan Sungmin hari ini?” Tanyanya setengah berbisik. Dan setiap kata yang keluar dari mulutnya sarat akan ketakutan dan kehati-hatiaan.

Seketika tubuh Jongwoon menegang. Dia menggenggam erat pipa besi pada dek kapal yang ia tumpangi. “Ne.” Jawabnya sambil menghembuskan nafas berat yang membuatnya terkesan sebagai desahan.

DHEEETTT…

Kapal yang mereka tumpangi mulai bergerak. Jongwoon menghela nafasnya. Lagi. Berusaha membuat rongga dadanya menjadi lebih longgar. Entah kenapa, seiring kapal ini bergerak, Jongwoon merasakan sesak. Hanya sesak.

“Kau juga tahu, kan, bila pernikahan yang dipaksakan itu tidak mengenakan.”

Jongwoon mendengarkan dengan seksama. Dia tahu arah pembicaraan ini akan berakhir bagaimana. Tapi dia tidak mau berharap banyak. Dia memikirkan kemungkinan lainnya. “Kau mau aku menikahimu tanpa rasa paksaan, begitu?”

“Aku membicarakan kalian.” Ujarnya sambil menunduk.

Jongwoon tertugun. Dia mengerjapkan matanya berulang kali. Dia juga menelan ludahnya. Entah kenapa, tenggorokannya terasa kering. “O…”

“Manusia itu tidak suka dipaksa untuk melakukan sesuatu. Apalagi hal itu adalah hal yang tidak ia sukai. Dan aku tahu bila kau menikahiku karena terpaksa. Aku tidak masalah dengan hal itu.”

Jongwoon terdiam. Dalam hati, dia membenarkan penuturan Heerin barusan. Tapi bila ia menyuarakannya, pasti menyakitkan. Tapi bukankah diam seperti ini jauh lebih menyakitkan?

“Kau tak perlu menjawabnya aku juga sudah tahu. Sejak dari pertama kau mengiyakanku untuk menemaniku seumur hidupku dan meninggalkan Nichan, aku tahu itu. Tapi aku berusaha untuk menutup mata akan semua hal itu.”

“Karena kau sudah menyadari itu, kurasa aku tidak perlu berpura-pura lagi.” Ujar Jongwoon santai.

Herein mencengkram pipi besi lebih kuat. Dia menghela nafasnya. “Apa rasanya menyakitkan? Ah tidak. Pasti sangat menyakitkan, geuchi?” Tanyanya dengan nada menyenangkan yang terlampau dibuat-buat. Dia juga tersenyum. Tersenyum pahit. Dan kondisinya ini sangat menyedihkan.

“Begitulah. Seperti katamu sangat…” Jongwoon menggantungkan kalimatnya karena tidak tega dengan Heerin.

“Apa Nichan juga sama? Kau meninggalkannya dan dia harus menikah dengan Sungmin. Dia pasti sangat tersiksa. Bagaimanapun dia itu wanita.”

“Dia pasti sedang berbahagia dengan Sungmin.”

Ani!!” Tegas Heerin. “Dia tidak berbahagia dengan Sungmin. Dia tersiksa. Amat sangat tersiksa.”

Gotjimal! Jangan menghi…”

“Aku tidak berbohong! Dia menunggu Oppa! Selalu. Dia ladang bunga itu. Dia bersembunyi dan selalu mengamatimu. Dan saat kita bertemu dengannya di butik, matanya tidak bisa berbohong Oppa! Dia teramat sangat mencintaimu, Oppa!”

Jongwoon menundukan wajahnya dalam-dalam.

-=.=-

Putih, lembut dan cantik. Sama sepertimu. Dan rapuh. Untuk itulah ada aku yang akan selalu menjaga dan melindungimu.

-=.=-

Ia yang berjanji untuk menjaga dan melindunginya. Tapi dirinya jugalah yang sudah menyakiti gadis itu. Ia merutuki dirinya sendiri atas kesalahan besar yang telah ia perbuat.

“Dan kau juga masih mencintainya, kan, Oppa?” Jongwoon tidak menjawab. “Kau masih mencintainya. Kau tidak bisa menutupi perasaanmu itu!”

“Geunyang… aku tidak tahu apakah aku masih pantas bersanding dengannya, Heerin-ah.”

“Tapi dia mencintaimu. Itu jauh lebih penting dibandingkan ‘kepantasan’ itu.”

Jongwoon terdiam. Dia mengusap-usap wajahnya dengan telapak tangannya.

“Apa yang kau tunggu lagi? Menunggu dia menjadi milik orang lain baru kau kembali kepadanya?”

Jongwoon menatap Heerin. “Aku menunggumu melepasku.”

Heerin terdiam. Digigitnya bibir bawahnya kuat-kuat. Dia tidak menjawab. Tapi dia langsung memeluk Jongwoon. “Dengan ini aku melepasmu, Oppa.

“Gomawo.” Balas Jongwoon lalu membalas pelukannya singkat. Dia melepas pelukannya kemudian mulai memanjat pembatas besi itu.

Heerin panik. “Apa yang ingin kau lakukan?”

“Mencegah pernikahan itu. Lagi pula, kapal ini tidak akan berbalik untuk mengantarku.” Ujarnya santai.

“Tapi ini sedang musim dingin!” Peringatan Heerin tidak didengar oleh Jongwoon. Dia tetap melompat dan langsung berenang menjuju pelabuhan yang berjarak hampir melebihi lima ratus meter itu.

Dan dengan seluruh tenaga yang ia miliki, ia berenang. Memecah ombak yang bergulung indah di antara hamparan biru yang terbentang luas.

Dengan secepat yang ia bisa, ia berenang. Mencapai pinggiran pantai dengan sedikit detik yang terbuang.

Terus. Lagi. Dan selalu. Dia menyemangati dirinya sendiri. Menyemangati agar dia tetap kuat hingga dapat memerjuangkan cintanya kembali.

Hingga saat dia sudah berhasil mencapai pantai, dia terkapar sambil terengah-engah kerena kehabisan nafas. Tapi kemudian dia tersadar. Dia tidak bole terus terkapas sambil kembali mengisi paru-parunya. Sedetik terlambat bisa menghancurkan seluruh harapan dan hatinya.

Dia bangkit kemudian berbalik. Matanya disambut oleh beberapa gedung. Kini kemana ia harus pergi? Ia tidak tahu dimana Nichan akan menikah.

Kemudian terbesit sebuah tempat dimana Nichan berada. Dia tidak tahu pasti akan hal itu. Tapi kini kakinya mulai bergerak dan berlari ke tempat itu. Dia terus berlari dengan keyakinannya.

Oppa, kalau kita menikah, kita menikah disini, ya?”

Kalimat itu terus terngiang di kepalanya. Kemudian dia semakin yakin akan kakinya berlari. ‘Kkoma-ya, tunggu aku!’ kalimat itu terus ia ucapkan dalam hati.

Dan Jongwoon terus berlari. Menghiraukan badannya yang menggigil kedinginan karena menerobos dinginnya angin musim semi. Menghiraukan seluruh pandangan aneh dari orang-orang. Menghiraukan orang-orang yang menghujatnya sebagai orang gila. Ia menghiraukan semuanya. Dia tetap berlari. Bahkan dia melupakan bila ada alat transportasi berupa taksi.

-=.=-

Jongwoon berbelok pada sebuah tikungan jalanan. Dia menghentikan larinya. Berjarak seratus meter dari sebuah gereja yang megah disana. Pada jarak itulah dia melihat sosok Nichan yang berjalan memasuki gereka itu dituntun oleh Sungmin.

Dia tersenyum kecil. Dia berlum terlambat. Dia kemudian kembali berlari. Tapi kakinya sudah tak sanggup berlari lagi. Berlari sekitar satu kilometer setelah berenang lima ratus meter, rasanya cukup untuk membuat kaki Jongwoon terasa patah.

Tapi ia tidak gentar. Dia terus memaksa kakinya bergerak. Dia hanya bisa berlari kecil menuju gereja itu. Dan dari ambang pintu gereja, dia melihat bahu Nichan bergetar. Menangiskah gadisnya itu?

Dia sudah tidak sanggup menahan gejolak dihatinya. Dia berderap mendekati altar. Tidak dipedulikannya orang-orang yang berbisik heboh disektitarnya. Masa bodoh, orang akan menilainya seperti apa. Yang jelas dia harus menyelamatkan hatinya dan hati gadisnya itu.

Jongwoon berderap. Dan berderap semakin cepat. Dan saat gadisnya tersisa satu langkah untuk kakinya menginjak altar suci, dia meraihnya. Meraihnya kembali kedalam dekapannya. Meraihnya kembali kedalam pelukan hangatnya. Tak luput, puncak kepala gadis itu ia cium lembut.

“Aku kembali…” bisiknya. Dia memeluk Nichan semakin erat. Seolah mengekang gadis ini agar tidak pernah pergi. Mengakan agar gadis ini terus dan selalu disampingnya dan menjadi miliknya.

“Matahari ini kembali pada bunga mataharinya.” Bisiknya lagi berusaha meyakinkan gadisnya.

Nichan menangis. Mengeluarkan semua tangisannya yang selama ini ia tahan. Mengeluarkan semua isak yang tertahan dalam dekapnya. Dilingkupkan kedua lengannya memeluk pinggang Jongwoon semakin erat.

“Kenapa? Kenapa kau kembali?” Tanyanya masih dalam pelukannya.

“Bukankah aku sudah berjanji? Berjanji untuk mencintaimu hingga tidak ada lagi bunga lili dan bunga matahari yang mekar di dunia ini.” jawabmu lalu tersenyum menghadapku.

Nichan tersenyum. “Bagaimana dengan Heerin?” tanyanya lagi sambil menatap Jongwoon dengan lekat.

“Dia melepasku. Membiarkan aku memilih untuk bersama dengan gadis yang sangat kucintai. Dan karena aku mencintaimu…”

Dan detik itu juga Nichan kembali membenamkan diri dalam pelukan hangat milik Jongwoon yang balas memeluknya, erat. Seerat mungkin agar tak lagi lepas. Seerat mungkin agar kau bisa tahu seberapa dia menginginkanmu untuk kembali mendekapnya.

Dan setelah beberapa lama dia memeluknya. Satu hal yang ia sadari. “Kenapa? Pakaianmu basah?”

“Aku dalam kapal menuju Jeju. Dan ditengah, aku terjun dan menyusulmu. Aku berlari dari pantai hingga tiba kemari. Rasanya kakiku ingin patah.” Keluhnya.

Nichan terenyuh. Dia bahagia. Penantiannya selama empat musim semi ini tidak sia-sia. Jongwoon tidak pernah melepaskan cintanya. Dia mungkin meninggalkannya, tapi dia tetap menjaga hatinya. Buktinya, dia berenang dan berlari sejauh itu. “Tapi kau tidak apa-apa, kan?”

Jongwoon melepas pelukannya. “Gwaenchana. Selama hal ini akan membawamu kembali kepadaku.”

“Gomawo. Karena kau sudah mau kembali.” Ucapnya hamper tanpa suara.

“Harusnya aku yang berterimakasih karena masih mau menungguku.”

“Kau tidak perlu berterimakasih. Karena memang sudah tugas bunga matahari untuk selalu setia menunggu mataharinya, bukan?”

Jongwoon menatap lekat kedua manik mata coklat kayu milik Nichan. “Mulai sekarang biarlah bunga matahari ini kembali menjadi bunga lili. Karena bunga ini tidak perlu lagi menunggu mataharinya. Jadilah kau bunga lili yang rapuh. Dan ijinkanlah aku menjadi tangkainya untuk melindungimu. Selamanya. Aku berjanji untuk terus dan selalu mencintaimu.”

Dan akhir penantian panjang Nichan terbalas. Semua sakit, sesak, pedih, perih, dan penat selama menunggu kekasihnya terbalas sudah. Dan penderitaanya selama itu ditutup oleh sebuah ciuman manis dan penuh cinta diantara keduanya.

– fin –